Ilustrasi Foto : mediaansorbuaran.com |
Menyoal saleh dan salehah tidak dapat lepas dari sudut pandang yang digunakan dalam memahaminya. Akan tetapi, konsep kesalehan memiliki unsur kental berbau agama, tepatnya dalam ranah konsep ketuhanan yang dipahami. Hal tersebut merupakan wujud dari kehambaan manusia kepada pencipta yakni melalui daya usaha sosial. Meskipun daripada itu, umumnya yang menjadi ukuran ialah perihal kebermanfaatan sosial, itupun seharusnya dilandasi kelogisan berfikir sebagai hamba yang memahami aturan-aturan Tuhan. Sebab, konsep kesalehan sarat akan kesesuaian antara tindakan dengan aturan dalam risalah yang dibumikan.
Memahami aturan-aturan Tuhan samahalnya memahami siapa saja pembawa risalah yang kemudian membumikan aturan-aturan tersebut yang tentunya otentik; tidak lantas ditambahi maupun dikurangi, melainkan apa adanya yang ditampilkan dalam risalah. Wujud penambahan aturan ataupun pengurangan aturan dalam suatu risalah merupakan salah satu bukti ‘sudah’ tidak layaknya sebuah aturan diterapkan di suatu zaman, hingga akhirnya kemudian ditambahi dengan visi-misi baru oleh oknum-oknum yang berkepentingan didalam aturan risalah yang ‘harusnya’ otentik dengan maksud menguatkan efektivitas risalah. Akibatnya, keotentikan aturan risalah menjadi palsu. Imbasnya ialah generasi selanjutnya tidak lagi dapat menemukan keotentikan aturan asli dan cenderung menguatkan aturan palsu dengan argumentasi ‘bahwa itu aturan risal asli’. Sedangkan, aturan risalah asli tidak lagi dapat ditemukan, bahkan mungkin telah minor dipegang sedikit orang.
BACA JUGA : BERKUMPUL BERSAMA KELUARGA DI SURGA
Dari problem di atas, kemudian lahirlah kader-kader baru yang terbentuk oleh pandangan-pandangan yang memperkuat aturan risalah palsu. Berbagai jalan ditempuh untuk menguatkan dan melawan pandangan yang menerobos, hingga terbentuk pandangan kesalehan dengan ukuran aturan risalah palsu. Adapun akibatnya ialah menolak adanya aturan risalah baru yang menjadi penutup dari segala risalah sebelumnya dan menjawab tantangan zaman. Hanya saja ‘terkadang’ tidak sedikit yang belum dapat membuktikan kebenaran risalah baru dan penutup dari segala risalah asli sebelumnya yang tentu ‘seharusnya’ tidak saling kontradiksi, melainkan terarah pada satu perkara yang sama.
Tentunya hal demikian dapat diupayakan melalui usaha berproses kritis mendalami hal apapun dengan lepas bebas.
Dalam hal ini, telah jelas bahwa konsep kesalehan adalah bentuk rangkaian manifestasi atas dasar kesadaran logis dalam bertuhan. Tentunya hal demikian dapat diupayakan melalui usaha berproses kritis mendalami hal apapun dengan lepas bebas. Doktrin sematan yang ‘mungkin’ dipegang dan diyakini jauh hari menjadi objek awal atas skeptisis-menuju pembuktian arah logis beragama. Tuhan dalam agama tidak hanya ‘diucap’ tanpa ‘perkenalan’, melainkan dikenal dan diucap dengan berbagai bukti logis. Proses dalam menemukan kebenaran melalui kelogisan berfikir menjadi pijakan awal menuju pemaknaan saleh sesuai yang seharusnya. Sebab, boleh jadi, konsep kesalehan hanya sebatas pengucapan tanpa pembuktian logis. Akhirnya, terus ‘mengambang’ kejelasan kepastiannya, jika dinormalkan tanpa muatan.
Risalah logis atas konsep kesalehan merupakan tulisan yang mencoba menggugah nalar guna menetapkan makna logis saleh dalam keberagamaan. Saleh tidak hanya sebatas baik dan buruk dalam koridor adat berupa anggapan-anggapan sosial yang dibentuk sedemikian rupa, melainkan jauh lebih dalam lagi yakni saleh dalam ruang yang semestinya terkonsep logis-berdasar pada kelogisan atas risalah dari wujud esa yang merajai diri hingga merahmati; yang ‘idealnya’ dengan kesadaran logis manusia dapat menemukan makna yang sebenarnya (potensi menuju ke fitrah).
Saleh tidak hanya sebatas baik dan buruk dalam koridor adat berupa anggapan-anggapan sosial yang dibentuk sedemikian rupa
Berbagai ulasan di atas tentunya menggiring siapapun, khususnya pembaca, untuk merenungkan kembali atas konsep-konsep kesalehan yang telah diproduksi selama ini, yang kemungkinan hanya sebatas ikut-ikutan atau hanya dalam lingkup dogma semata tanpa penalaran. Meskipun, hal demikian adalah bagian penting dari proses, akan tetapi setidaknya ‘memulai me-refresh’ kembali berbagai konsep dalam ruang kepala bukanlah suatu kekeliruan, apalagi eksistensi diri ialah sebagai makhluk berpikir yang tentu memunculkan berbagai pertanyaan dan butuh jawaban yang logis. Adapun beberapa pertanyaan yang mungkin dapat menjadi modal untuk me-refresh kembali pengetahuan dan pemahaman tentang konsep kesalehan, diantaranya sebagai berikut;
Apakah kesalehan dapat digapai manusia tanpa agama? Apakah kesalehan dapat digapai manusia tanpa tuhan? Apakah kesalehan dapat digapai tanpa risalah? Apakah kesalehan dapat digapai tanpa iman? Apakah kesalehan dapat digapai tanpa kelogisan? Apakah kesalehan bukan tentang Tuhan dan risalah agama yang logis? Apakah kesalehan hanya sebatas konstruk sosial? Apakah kesalehan bukan tentang konstruk sosial? Kenapa demikian?
Pertanyaan-pertanyaan di atas hadir sebagai alat pengantar individu untuk menguji ‘bagaimana sih konsep kesalehan yang diproduksi selama ini? saleh yang seperti apa yang diproduksi?’ dan lain sebagainya. Lagi-lagi hanya pengantar saja, selebihnya dapat dibongkar sendiri melalui gaya berpikir masing-masing, meskipun tidak lantas keliru jika gaya berpikirnya beda, yang terpenting ialah pemaknaan dan konsep kelogisan yang dipakai. Tulisan ini sampai kapanpun, akan tetap berbentuk tulisan yang boleh jadi tidak memiliki muatan, kecuali jika difilter secara positif-kreatif oleh individu atas beberapa hal yang ‘mungkin’ memiliki daya penggugah pembaca. Mungkin saja tapi.
0 Comments