ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

SEKILAS TENTANG TAFSIR AL QURTHUBI AL JAMI' LI AHKAM ALQURAN (BAGIAN I)

Sabtu, 17 Oktober 2020

 


    Metode dan Corak Penafsiran Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān

Kitab Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān merupakan salah satu kitab tafsir yang diterima dengan baik dan dikenal luas di kalangan umat Islam. Kitab ini ditulis pada abad ke-7 Hijriah dan merupakan karya terbesar dari ulama kenamaan asal Andalusia, yaitu al-Qurthubī.

Al-Qurthubī menamai kitab tafsirnya tersebut dengan nama Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān wa Mubayyin Limā Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqān.[1] Dari kitab monumentalnya inilah nama al-Qurthubī kemudian dikenal luas di kalangan pengkaji Islam terutama dalam kajian tafsir al-Qur’an.

Dalam muqaddimahnya Al-Qurthubī menyebutkan bahwa, “al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang berisi tentang ilmu-ilmu syariat, yang membahas mengenai hukum dan kewajiban. Allah menurunkan kitab tersebut kepada Āmīn al-Ardh (Nabi Muhammad saw) melalui Āmīn al-Samā’ (malaikat Jibril). Kitab tersebut benar-benar menyibukkanku dan begitu menguras tenagaku sepanjang hidup, karena itu aku kemudian menulis komentar-komentar atau penjelasan ringkas yang memuat intisari dari tafsir, bahasa, i’rāb, qirā’at, penolakan terhadap orang-orang yang menyimpang dan sesat, menyebutkan banyak hadis-hadis penguat tentang hukum-hukum dan sebab turunnya ayat secara lengkap beserta makna-maknanya, serta menyebutkan perkataan-perkataan ulama salaf dan khalaf sebagai penjelas atas sesuatu yang sulit dipahami.”[2]

Berikut akan dipaparkan secara lebih detail mengenai metode penafsiran yang digunakan oleh al-Qurthubī dalam Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān beserta corak yang dihasilkan dari kitab tafsir tersebut.

1)             Metode Penafsiran

Metode yang dalam istilah Arab lazim dikenal dengan sebutan al-Tharīqah merupakan suatu cara atau jalan dalam hal ini cara ilmiah untuk dapat memahami atau mawas objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.[3]

Dalam kaidah ilmu tafsir, terdapat beberapa metode penafsiran yang biasa digunakan oleh para mufassir dalam memahami al-Qur’an yang kesemuanya memiliki ciri-ciri tesendiri, seperti metode tahlilī, ijmālī, muqarran dan maudhu’ī. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa metode tahlilī lebih mengedepankan analitis-kritis terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan berusaha mengungkapkan segala aspek yang ada serta sistematika pembahasannya sesuai urutan mushaf al-Qur’an itu sendiri. Berbeda dengan metode tahlilī yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara spesifik dan detail, metode ijmālī lebih fokus pada penggalian makna-makna umum atau global yang terkandung dari suatu ayat, sedangkan metode muqarran berusaha memahami suatu ayat dengan cara mengkompromikan kandungan yang ada dari satu ayat terhadap ayat lainnya. Terakhir adalah metode maudhu’ī yang mencoba memahami ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan tema yang ada dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang sesuai dengan tema yang hendak dikaji tersebut.[4]

Kitab Al-Jāmi’ Li Ahkām Al-Qur’ān karya al-Qurthubī merupakan sebuah kitab tafsir yang menggunakan metode tahlilī sebagai metode utamanya. Ciri-ciri yang paling menonjol dari metode tahlilī adalah konsistensi dan keluasan pembahasannya karena mengungkap berbagai aspek dalam suatu ayat. Selain itu, penafsiran yang dilakukan sesuai dengan urutan ayat dan surat di dalam al-Qur’an.[5]

Secara umum, dalam menafsirkan suatu ayat, al-Qurthubī memulainya dengan pembahasan sebab turunnya ayat, perbeda’an qirā’at dan i’rāb yang ada, penjelasan lafadz-lafadz asing, mengungkapkan pendapat-pendapat yang ada beserta sumbernya, menyantumkan berita-berita dari para ahli sejarah, mufassir sebelumnya dan mengutip pendapat ulama-ulama terdahulu yang dapat dipercaya terutama dalam kaitannya dengan pembahasan hukum-hukum tertentu. Ulama-ulama yang sering dirujuk pendapatnya diantaranya adalah Ibnu Jarir, Ibnu ‘Athiyah, Ibn al-‘Arabī, al-Kiyā Harrāsyī dan Abū Bakar al-Jasshāsh.[6]

Dalam mengkaji sebuah ayat, Al-Qurthubī biasanya mencoba menyuguhkan beberapa persoalan yang berkembang dalam ayat tersebut yang kemudian disebutnya sebagai mas’alah dalam berbagai aspek.

Menurut Nasharuddin Baidan, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an al-Qurthubī terbiasa memulainya dengan mencari legitimasi kepada pemahaman lughawī seperti kajian atas asal usul kata, nahwu, i’rāb, i’lal, semantik (makna) dan penggunaan puisi jahiliyyah sebagai basis pemaknaan kata (Syawāhid Al-Syi’riyyah).[7]

Dari makna lughawī kemudian beralih kepada makna teknis atau syar’ī yaitu berkenaan dengan bagaimana pengamalannya oleh Nabi dan para sahabat Nabi saw. Pola semacam ini memang merupakan sesuatu yang lazim diterapkan oleh para ahli fikih guna menemukan istinbath hukum yang legitimate dan dapat diterima oleh mayoritas umat dikarenakan argumen yang dijadikan alasan cukup rasional dan didukung oleh pemahaman lughawī yang jelas dan valid.[8]

Ketika membahas persoalan hukum dan penyebutan informasi tentang Asbāb al-Nuzūl, al-Qurthubī menggunakan riwayat-riwayat hadis sebagai salah satu landasannya. Akan tetapi, ia secara konsisten selalu menyebutkan sumber-sumbernya secara jelas sebagaimana ketika ia mengutip pendapat atau pandangan seseorang. Hal ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan al-Qurthubī atas banyaknya riwayat hadis termasuk di dalamnya hadis tentang fikih yang muncul tanpa identitas periwayat di dalam kitab-kitab tafsir sebelumnya yang mana hal ini dapat berpotensi menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman bagi para pembacanya.[9]

Bahkan, al-Qurthubī terkadang menyebutkan sejumlah hadis palsu yang berkaitan dengan sebab turunnya sejumlah ayat, seperti yang disebutkan oleh al-Naqqasy, al-Tsa’labī, al-Qusyairī dan banyak ahli tafsir tentang sebab turunnya Surat Al-Insān ayat 8. Menurut mereka ayat ini turun berkenaan dengan kisah ‘Alī, Fāthimah dan budak perempuan mereka.

Dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa ‘Alī, Fāthimah beserta anak-anaknya kelaparan selama tiga hari tiga malam dikarenakan makanan mereka telah habis diberikan kepada orang miskin, anak yatim dan seorang tawanan perang yang datang ke rumah mereka karena kelaparan dalam waktu tiga hari tersebut.

Menurut al-Qurthubī, riwayat tersebut tidak shahīh dan juga tidak masuk akal karena mustahil ‘Alī r.a akan memaksakan untuk memberi makan orang lain sementara keluarganya sendiri kelaparan. ‘Alī r.a tentu mengetahui bahwa sedekah yang paling baik adalah sedekah setelah kecukupan.

Lebih lanjut al-Qurthubī mengutip pendapat al-Tirmidzī al-Hakīm Abū ‘Abdillah dalam Nawādir al-Ushūl. Ia berkata, “ini adalah hadis yang dipalsukan, palakunya begitu pandai membuatnya sehingga para pendengar dapat dikelabuinya, orang yang tidak tahu pasti akan berdecak kagum melihat sikap ‘Alī r.a dalam riwayat tersebut, padahal ia tidak tahu bahwa orang yang bersikap demikian justru sangat tercela.”[10]

Selain itu, al-Qurthubī juga cenderung lebih selektif terhadap riwayat-riwayat israilliyat. Hal ini dapat dilihat dari terbebasnya penafsiran al-Qurthubī dari riwayat-riwayat israilliyat yang berbicara mengenai beberapa kisah dalam al-Qur’an seperti kisah Harūt dan Marūt, Nabi Dāwud dan Nabi Sulaimān serta kisah Gharāniq.[11] Akan tetapi, ada sejumlah cerita isra’iliyyat yang dilewatkan oleh al-Qurthubī seperti ketika menafsirkan Surat Ghāfir ayat 7.

Ketika menjelaskan ayat tersebut, al-Qurthubī menyebutkan sebuah riwayat yang tidak jelas sumbernya yang menyatakan bahwa kaki-kaki para malaikat pemikul ‘arsy berada di bagian bumi paling bawah sementara kepala-kepala mereka menyentuh ‘arsy.[12]

Kelebihan lain yang dimiliki oleh tafsir al-Qurthubī adalah meskipun pada dasarnya kitab tersebut merupakan sebuah kitab tafsir yang bercorak fikih, akan tetapi turut berpengaruh terhadap kitab-kitab tafsir pada masa selanjutnya yang sebenarnya tidak bercorak fikih, seperti Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adhīm yang ditulis oleh Ibn Katsīr (w.774 H) dan al-Shaukānī (w. 1350 H) dalam kitabnya Fath al-Qādīr baina Fannay al-Riwāyah wa al-Dirāyah fī ‘Ilm al-Tafsīr.[13]

Dalam Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, al-Dzahabī menjelaskan, “Secara umum, dapat dikatakan bahwa al-Qurthubī, telah bersikap objektif dalam menyampaikan pembahasan-pembahasan yang ada dalam kitab tafsirnya, bersih dan tidak tendensius dalam menyampaikan kritikan-kritikannya, menjauhi hal-hal yang tidak etis ketika sedang berdiskusi atau berdebat, menaruh perhatian besar terhadap ilmu tafsir dari berbagai aspeknya, serta mendalami setiap ilmu yang dipaparkan dan dibicarakan di dalam kitabnya itu.”[14]

Sedangkan menurut Ibnu Farihūn sebagaimana yang dikutip oleh al-Dzahabī, bahwa kitab Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān termasuk kitab yang mulia dan banyak manfaatnya, di dalamnya tidak dicantumkan kisah-kisah dan sejarah-sejarah, sebaliknya mencantumkan hukum al-Qur’an dan istinbath hukum, juga menyebutkan qirā’at, i’rāb dan nāsikh mansūkh.[15]

Lebih lanjut menurut Mannā’ al-Qaththān, al-Qurthubī juga banyak melakukan kritikan secara halus dan adil  kepada kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidlah, para filosof dan kaum sufi yang ekstrem. Selain itu, terkadang ia juga membela orang-orang yang dikritik oleh Ibn al-‘Arabī dan mengkritik balik karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Meski begitu, kritik-kritik yang dilontarkan oleh al-Qurthubī dilakukan dengan cara yang bersih, sopan dan terhormat.[16]

Selain itu, meskipun tafsir al-Qurthubī lebih condong pada pembahasan hukum-hukum fikih, namun di dalamnya tidak terbatas pada kajian terhadap ayat-ayat yang berimplikasi hukum semata melainkan membahasnya secara lengkap dan komprehensif termasuk di dalamnya ayat-ayat yang berkaitan dengan alam akhirat.

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sistematika penafsiran Tafsir al-Qurthubī secara konsisten dan berurutan adalah sebagai berikut:

1.             Menyebutkan satu atau beberapa ayat yang hendak ditafsirkan.

2.             Menyebutkan riwayat mengenai sebab turunnya ayat jika ada.

3.             Menyebutkan penafsiran kalimat per kalimat dari segi bahasa.

4.             Menyebutkan pendapat para ulama bahasa tentang penafsiran kalimat per kalimat tersebut.

5.             Menyebutkan perbedaan i’rāb dan qirā’at yang ada di kalangan ulama ahli qirā’at.

6.             Menjelaskan lafadz-lafadz asing jika ada.

7.             Menyebutkan sya’ir-sya’ir Arab pada masa jahiliyyah.

8.             Membagi penafsirannya dalam berbagai persoalan atau mas’alah.

9.             Menyebutkan pendapat para ulama mengenai persoalan yang dibahas, termasuk pendapat dari para mufassir sebelumnya.

10.         Mengomentari perbedaan pendapat yang terjadi diantara para ulama.


Kontributor : M. Khoirul Umam

[1] Imam al-Qurthubī, Muqaddimah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 8.

[2] Imam al-Qurthubī, Muqaddimah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 7.

[3] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 378.

[4] M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 41.

[5] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 381.

[6] Muhammad Husain Al-Dzahabī, Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz 2 (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 338.

[7] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 417.

[8] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir... hlm. 418.

[9] Imam al-Qurthubī, Muqaddimah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 8.

[10] Imam al-Qurthubī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān Juz 21 (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 466.

[11] Ainaul Mardhiyah, “Melacak Penafsiran Kontemporer... hlm. 248.

[12] Imam al-Qurthubī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān Juz 18 (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 330.

[13] Ainaul Mardhiyah, “Melacak Penafsiran Kontemporer... hlm. 248.

[14] Muhammad Husain Al-Dzahabi, Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz 2 (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 341.

[15] Muhammad Husain Adz-Dzahabi... hlm. 336.

[16] Syaikh Mannā’ Al-Qaththān, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, terjemahan Aunur Rafiq El-Mazni dkk, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 472.


Share This :

0 Comments