ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

CORAK TAFSIR AL QURTHUBI ( SEKILAS TENTANG AL JAMI' LI AHKAM ALQURAN BAGIAN II)

Sabtu, 17 Oktober 2020

 

Pada abad ke-3 H (awal dari periode pertengahan dalam perkembangan tafsir al-Qur’an), Islam telah menyebar ke berbagai penjuru dunia yang mempunyai keanekaragaman budaya, bahasa dan pengetahuannya. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi perkembangan ilmu pengetahuan di dalam Islam, termasuk di dalamnya ilmu penafsiran al-Qur’an.

Tradisi penafsiran al-Qur’an dengan model bi al-ma’tsur yang dahulu sangat populer kini sudah mulai mengalami pergesaran ke arah model bi al-ra’y. Ulama-ulama tafsir tidak lagi sekedar mengutip riwayat-riwayat yang ada, namun juga mulai memberi ruang yang cukup luas dan bebas untuk pendapat mereka sendiri. Penafsiran al-Qur’an menjadi lebih hidup dan berwarna karena dilakukan berdasarkan keahlian, kecenderungan keilmuan dan bahkan kecenderungan paham keagamaan masing-masing penafsir yang kemudian berimplikasi pada perbedaan corak penafsiran yang ada.[1]

Artinya, bentuk-bentuk penafsiran yang diterapkan dengan menggunakan salah satu dari empat metode sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya akan menghasilkan corak-corak penafsiran sesuai dengan kecenderungan dan kemauan masing-masing mufassir.

Menurut Nashruddin Baidan, corak penafsiran adalah suatu warna, arah atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.[2]

Diantara beberapa corak penafsiran yang berkembang pada waktu itu dan bahkan digunakan sampai sekarang adalah linguistik, fikih, kalam atau teologi, filsafat, sufistik dan ‘ilmi atau sains.[3]


BACA JUGA : SEKILAS TENTANG TAFSIR AL QURTHUBI AL JAMI' LI AHKAM ALQURAN (BAGIAN I)


Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān karya al-Qurthubī merupakan salah satu karya terbesar dalam bidang tafsir al-Qur’an yang bercorak fikih. Menonjolnya corak fikih dalam karya tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang ganjil dan aneh karena memang dari judulnya saja secara eksplisit sudah mengarah kepada hal tersebut yaitu Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān yang berarti menghimpun hukum-hukum fikih yang ada pada ayat-ayat al-Qur’an. Namun, meski bercorak fikih, tafsir al-Qurthubī adalah sebuah karya yang netral dan tidak fanatik kepada salah satu madzhab fikih, termasuk madzhab Maliki yang dianut oleh pengarangnya.

Berdasarkan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh al-Qurthubī cukup objektif dan didukung oleh argumen yang kuat serta fakta sejarah yang valid. Inilah salah satu keunggulan dan keistimewaan tafsir al-Qurthubī terutama dalam kaitannya dengan pembahasan hukum-hukum fikih. Selain itu, tafsir ini mempunyai keunggulan lain karena di dalam menafsirkan suatu ayat penulisnya selalu mencoba mengunggulkan sebagian ijtihad atas sebagian yang lain.[4]

Dari segi bentuk tafsir yang disuguhkan maka jelas bahwa tafsir al-Qurthubī adalah termasuk tafsir bi al-ra’y yang terfokus pada corak fikih dan menggunakan metode tahlili atau analitis.[5] Kitab tafsir ini merupakan salah satu dari sekian banyak kitab tafsir yang lahir pada periode pertengahan sejarah perkembangan tafsir.

Tafsir fikih lebih populer disebut dengan Tafsīr Āyāt al-Ahkām atau Tafsīr Ahkām karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, keberadaan tafsir dengan model seperti ini cenderung lebih mudah diterima oleh para ulama tafsir. Tafsir fikih berusia sangat tua karena kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir Al-Qur’an itu sendiri. [6]

Secara umum tafsir fikih atau tafsir hukum dapat diartikan sebagai tafsir yang ditulis oleh seorang ahli hukum fikih yang berorientasi pada persoalan-persoalan hukum Islam dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushūl al-Fiqh.[7]

Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hukum, al-Qurthubī melakukannya begitu luas dan dalam, sehingga wajar jika tafsirnya ini kemudian dilabeli dengan tafsir yang bercorak  fikih. Ia banyak mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, menunjukkan berbagai pendapat dan perbedaan yang ada lalu mengomentarinya. Akan tetapi, meski sering mengetengahkan perbedaan pendapat yang ada, ia tidak terkesan fanatik terhadap madzhabnya karena tak jarang ia justru lebih condong terhadap pendapat dari madzhab lainnnya.

Salah satu bukti sikap netral al-Qurthubī dalam menafsirkan ayat-ayat hukum yang di dalamnya terdapat khilafiyyah dapat kita lihat ketika ia menafsirkan firman Allah berikut ini:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu”.  Qs. Al-Baqarah [2]: 187.

 

Ketika ia membahas masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, setelah sebelumnya telah mengemukakan perbedaan pendapat yang ada di kalangan para ulama perihal bagaimana hukumnya orang yang makan di siang hari pada bulan Ramadhān karena lupa, termasuk diantaranya pendapat Imām Mālik yang mengatakan batal dan wajib menggantinya. Al-Qurthubī berkata, “Menurut pendapat selain Imām Mālik, tidaklah batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya. Menurut pendapat saya pribadi, ini adalah pendapat yang benar dan jumhur, bahwa barangsiapa yang makan atau minum karena lupa maka ia tidak wajib menggantinya dan puasanya tetap sempurna.[8] Hal ini berdasarkan pada hadis Abū Hurairah berikut ini:

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ»[9]

“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdān, telah mengabarkan kepada kami Yazīd bin Zurai’, telah menceritakan kepada kami Hisyām, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sīrīn, dari Abū Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, "Apabila (orang yang berpuasa) lupa, lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya Allah memberinya makan dan minum." HR. Bukhari.

 

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa al-Qurthubī tidak sependapat dengan imam madzhabnya sendiri dalam permasalahan ini. Hal ini menunjukkan bahwa ia terkesan lebih netral dan tidak fanatik terhadap madzhabnya.


Kontributor : M. Khoirul Umam


[1] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm 90.

[2] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 388.

[3] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm 90.

[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 213.

[5] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir... hlm. 417.

[6] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur, 2011), hlm. 200.

[7] Tim RADEN, Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hlm. 244.

[8] Imam al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān Juz 3 (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 200.

[9] Al-Imam al-Hāfidz Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Ismail al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Kitab Puasa, Bab Orang yang Berpuasa Jika Makan atau Minum Karena Lupa (Riyadh: Bait al-Afkār, 1998), hlm. 366.


Share This :

0 Comments