ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

MANHAJ BERAGAMA MUSLIM AWAM

Senin, 27 Maret 2023

Saat pendapat, ide, pemahaman, penafsiran, kelompok dan gerakan dakwah kita ditolak oleb ulama,apa yang harus kita lakukan?


Kenapa para murid dan muridnya murid merasa perlu mensyarah atau menta'liq atau memberi hasyiah pada tulisan guru-guru mereka? Karena jangan sampai ada sebagian ahlul ahwa, menafsirkan tulisan guru mereka sekehendak mereka agar sesuai dengan pemahaman mereka, mereka bisa dikatakan pemerkosa teks kitab-kitab turats, bahkan pada level framing seolah tulisan ulama itu mendukung partai mereka, dagangan mereka, kelakuan mereka, dll.

Lalu apa bedanya mereka dengan pencinta tafsir heurmenetika? Sama saja. Bedanya yang satu menafsirkan ke kiri yang satu ke kanan, persamaannya itu sama-sama memperkosa teks kitab rujukan, baik kitabullah ataupun kitab mu'tamad. Maka dari itu para murid merasa perlu mwnsyarah atau membuat hasyiah, atau menurunkan ilmu guru-guru mereka dengan kaderisasi berkelanjutan. Makanya kalau ingin memahami kitab muktamad atau kitab seorang ulama, logikanya adalah belajar pada para ulama tersebut secara langsung, atau pada murid yang diakui ulama itu, atau pada murid dari murid yang telah diakui para ulama itu secara langsung.

Dan itu bukan hal yang susah dilacak, untuk melihat siapa murid yang direkomendasikan imam amir kabir misalnya, semua orang tau, dan murid dari spesial dari muridnya imam amir kabir juga orang tau, dan murid rekomendasi murid dari muridnya imam amir orang juga tau, dst. Pada merekalah yang kita jadikan rujukan dalam memahami kitab-kitab turats dan muktamad. Jangan sama orang yang gak kita tau siapa gurunya, tiba-tiba datang menafsirkan kalam ulama semau dia, dia tafsirkan dengan cara seoalah mendukung kepentingan dia.

Nah ini seharusnya dijadiin manhaj hidup Seorang muslim yang tidak bisa berijtihad. Kalau dalam satu daerah ada 50 ulama yang jadi rujukan, maka jika ada ide tertentu baik dalam politik, ekonomi, dll yang gak diterima sama mereka, tapi ada ustad biasa yang menafsirkan di turats sebaliknya, ya harusnya ustad itu hampir 99 persen salah menafsirkan. Contoh jika ada suatu ide dilempar di indonesia,  lalu mbah mun, kyai kafabih, abuya murtadha, abuya muhtadi, abu tumin,abu mudi, ayah pasaribu, abah sekumpul, dll menolak berarti ada yang bermasalah dengan ide itu. Jangan malah mengatakan syeikhnya belum paham ide itu.

Bahkan jika ada satu dua ulama yang berbeda dengan 48 ulama lain saja, tanpa perlu merendahkan derajat keulamaan keduanya, maka kemungkinan besar ada kesalahpahaman disitu, itu wajar mereka manusia, yang aneh malah mencari pembenaran dari 2 orang itu untuk menyalahkan yang 48, itu  kurang logis, makanya pendapat yang berbeda dengan jumhur dilevel diatas 90 persen masih harus dipertanyakan, mukhalafah seorang tsiqah dengan banyak tsiqat itu memang ada, logika seharusnya seperti itu. Apalagi kalau yang berbeda itu kita, yang gak jadi rujukan sama sekali? Itu levelnya munkar, ini belum bisa masuk ranah khilafuiyah. Adapun kalau perbedaan sudah 10 orang dari 50 itu baru mungkin kita katakan khilafiyah. Karena memang masalah dhanniyat. Kalau khilafiyah maka itu hanya tergantung pilihan kiya aja. Mungkin seperti itulah kira-kira logika sederhananya.

Logika ini gak hanya bisa dipraktekan di indonesia. Tapi bisa diqiyaskan didaerah lain. Dimesir misalnya, ketika haiat kibar ulama al-azhar menolak sebuah ide, pemahaman dan kelompok maka sudah seharusnya kita mempertanyakan kembali ide, pemhaman san kelompom itu. Gak logis donk menolak para mutakhasisin seluruhnya untuk mendukung ide anda, harusnya lagika normal ya ide anda yang perlu dikaji ulang, gak perlu sombong mempertahankan pendapat yang salah. Begitu juga didaerah lain. Di india ketika ulama senior barlelwi, jt, deoband sepakat ya juga sama. Di syam ketika ulama syeikh wahbah, syeikh buty, syeikh nurudin itr, syeikh ibrahim silqiny, dll ya mereka itu rujukan, dan rekomendasi ulama sebelumnya, merekalah orang yang paling paham tentang guru-guru mereka

Jadi ketika mereka menolak sebuah pemahaman terhadap kitab muktmad, ya berarti pemahaman itu tertolak, karena mereka itu sangat mewakili penafsiran dan  pemahaman yang benar terhadap kitab muktamad. Kalau mereka gak mendukung ide anda,berarti berdasarkan kitab-kitab muktamad,  tapi ada yang salah dnegan pemahaman anda pada kitab tersebut tersebut. Walaupun anda copas teks kitab itu gak ngaruh karena yang bermasalah itu pemahaman bukan nukilan teks. Dan ini sangat oenting diperhatikan Terutama dalam satu madrasah, jika kita ingin menisbatkan ide, gerakan atau pemahaman anda pada suatu madrasah pemikiran, sederhananya begitu ya ikuti para guru besarnya. Nah mazhab ahlussunnah jelas siapa aja tokoh dan simbolnya, institusi pentingnya, dll.

Jika ada pemahaman, penafsiran, atau gerakan kita, yang kita nisbatkan pada ahlussunnah seharusnya kita bisa melihat bagaimana tanggapan tokoh-tokoh itu secara jumhur, kalau ditolak mencapai 90 persen, maka kemungkinan besar salah pemahaman dan gerakan kita itu. Jika diterima maka pantas menisbatkan diri pada madrasah Ahlussunnah. jika diantara dua, berarti ya khilafiyah. Jadi kalau pemahanan kita ditolak dan kita masih mau paham seperti itu ya gapapa buat aja gerakan diluar ahlussunnah dan katakan kami memang gak sedang bergerak atas asas ahlusunnah wal jamaah, anda memang berbeda tapi paling tidak anda jujur secara ilmiyah.  Adapun jika para tokoh aswaja yang menjadi simbol madrasah itu menolak, lalu kita masih memframing pemahaman kita sesuai dengan madrasah itu ya berarti kita itu penipu. Beragama kok dengan cara menipu

Jadi bagaimana dengan penafsiran, pemahaman dan gerakan yang selama ini anda bela mati-matian, gimana dukungan ulama? Dunia sebentar aja bro, gak perlu jadi iblis dengan mempertahankan mati-matian pendapat yang salah. Gak perlu diumumkan ke publik aku tetap atau berubah, hanya perlu merenung sejenak kenapa ide pemahamanku dan gerakanku ini ditolak dan tidak didukung oleh para ulama yang diakui sebeagai rujukan? Hanya perlu jujur pada diri sendiri, toh kita yang akan dimintai pertanggungjawaban bukan para netizen yang mendukung pendapat kita ketika gagah-gagahan berdebat di medsos. berdebat hanya menambah ego, karena ada kecenderungan mempertahankan pendapat sendiri  walaupun sebenarnya itu salah. Lebih baik merenunglah, karena dari merenung kita bisa terlatih mengakui bahwa  bahwa pendapatku selama ini salah, dan aku harus memperbaiki kesalahanku

O ya ide yang dibiacarakan disini  berkaitan dengan masalah agama, diluar itu ya menurut ahli masing-masing aja. 

Kontributor : Ustadz Fauzan Inzagi

Editor : Muhammad Hafidh (Maspik)

Share This :

0 Comments