Perhelatan Muktamar ke 34 di Lampung sudah usai. Para
panitia sudah beberes tempat, dan sebelumnya para Muktamirin dan Romli,
Rombongan Liar/Lillahi Ta'ala, Nahdliyyin hadirin muktamar yang datang bukan
karena punya hak pilih, melainkan datang sebab ‘bungah’, juga sudah pulang. Ada
yang pulang naik pesawat, jet, kapal laut, dan angkutan umum lainnya.
Muktamar selalu menarik bagi semua nahdliyin (warga
NU), baik nahdliyin yang menjadi pengurus struktural mau pun kultural,
nahdliyin yang tidak menjabat sebagai pengurus struktural. Semua senang mengikut
jalannya Muktamar, apalagi jika mendapati calon Ketua Tanfidziah merupakan
ulama yang dipanutinya. Kebetulan saja semua jajaran pucuk pimpinan Nahdlatul
Ulama, organisasi Islam yang lahir pada tahun 1926 ini adalah ulama atau
sedikitnya seorang yang mumpuni untuk memimpin organisasi Islam besar yang
umurnya lebih tua dari republik ini.
Muktamar NU ke 34 di Lampung memilih Kiai Yahya Cholil
Staquf sebagai Ketua Tanfidz, dan kembali memilih Kiai Miftachul Akhyar sebagai
Rais ‘Am. Seperti kelaziman yang tidak dapat disangkal, setiap Ketua Tanfidz
terpilih, adalah sosok yang kumplit, sebagai pendakwah, pemikir dan sekaligus
penulis yang baik. Kiai Yahya Ketua Tanfidz baru itu meneruskan tradisi
pendahulunya, seperti Kiai Said Aqil Siradj, Kiai Hasyim Muzadi, Gus Dur, Kiai
Wachid Hasyim, Kiai Saefuddin Zuhri, dan ketua yang lain. Mereka adalah para
pemikir yang sumbangan pemikirannya tidak hanya berdampak penting dan
bermanfaat bagi lingkungannya saja, melainkan untuk semua masyarakat di luar
batasan organisasi.
Kiai Yahya adalah putra dari Kiai Cholil Bisri, cucu dari
Kiai Bisri Musthofa. Bapak dan Kakeknya adalah penulis produktif di tengah
tugasnya sebagai pendakwah yang berdakwah di banyak tempat, dan juga pengasuh
pondok pesantren Roudlatut Thalibin Leteh Rembang. Selain itu Kiai Yahya juga
keponakan dari Kiai Musthofa Bisri, tokoh penting Nahdlatul Ulama, yang pernah
menjadi Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, pengasuh pondok pesantren, budayawan,
pelukis, dan juga seorang penulis produktif. Kalaupun tidak lantas disebut
mempengaruhi, atau ketenaran Kiai Yahya disangkutkan pada nama-nama besar yang
saya sebutkan di atas, sedikitnya di dalam lingkungan keluarga itulah Kiai
Yahya tumbuh.
Tahun kemarin, awal tahun 2020, Kiai Yahya menerbitkan
sebuah buku, berjudul "PBNU Perjuangan Nahdlatul Ulama, Tajdid Jam’iyyah
Untuk Khidmah Milenial". Tidak terlalu sukar ditebak, buku itu jelas
disiapkan untuk merangkum gagasan Kiai Yahya menjelang pencalonannya sebagai
Ketua Tanfidz. Buku itu sepertinya dicetak terbatas, atau dicetak banyak namun
tidak sempat beredar, sebab keburu datang badai pandemi yang membatasi apa saja
saat itu. Namun buku ini sempat dibedah di Kantor PBNU.
Buku ini cukup gamblang memaparkan gagasan-gagasan Kiai
Yahya. Kekhasan tulisan Kiai Yahya sangat terasa, tulisan yang tegas, tidak
berputar putar, atau langsung pada sasaran yang dimaksudkan. Buku ini dibuka
dengan sebuah ‘Manifesto’, sebuah pernyataan sikap yang cukup tegas tentang
perjuangan. Berikut isi Manifesto tersebut;
“Dalam dunia fana yang ganas ini, apakah engkau akan memperjuangkan sendiri nasibmu atau mendaulat orang yang jani berjuang untukmu?"
Dalam lautan polo dan pantat, apakah kalian akan saling
bergandeng tangan dan berbagi dalam susah-payah demi kesetiaan pada martabat
atau ramai-ramai menadahkan tangan berebut sedekah dan belas kasihan?
Di tengah kepungan rampok, apakah kalian kuat sengsara lebih
lama, berkorban lebih banyak atas nama harga diri atau lebih suka selamat ala
kadarnya, membiarkan rampok mengambil yang mereka suka asal masih ada untuk
kalian sisanya?
Di depan cermin nanti, apakah kau berani memandang
wajahmu atau melengos supaya lebih
nyenyak tidurmu?
Apakah buyut-canggahmu nanti adalah budak-budak yang
mengutukmu atau orang-orang gagah yang menangis mengenang penderitaan dan
jasa-jasamu?”
Sebuah manifesto yang cukup gamblang apa maunya. Buku PBNU
Perjuangan Nahdlatul Ulama, ini memang berbeda dari banyak buku yang ditulis
oleh penulis NU sebelumnya, apalagi menyangkut perhatian kepada hal-hal di luar
bahasan yang kerap menjadi kajian pembahasan di dalam pertemuan-pertemuan
Nahdlatul Ulama.
Dalam buku ini Kiai Yahya hendak mengingatkan kembali, bahwa
ada cita-cita penting organisasi yang mesti terus diperjuangkan. Bukan
cita-cita remeh temeh, melainkan cita-cita agung, bahwa Nahdlatul Ulama
dilahirkan dengan mengusung cita-cita peradaban, yaitu mewujudkan tata dunia
yang harmonis dan adil berdasarkan akhlaqul karimah dan penghormatan terhadap
kesetaraan martabat di anatara sesama manusia.
Bukan main apa yang disampaikan oleh Kiai Yahya, ada
cita-cita peradaban terangnya. Menurut Kiai Yahya, strategi menuju cita-cita itu diawali dengan
konsolidasi basis, yaitu memberdayakan jama’ah (komunitas) sebagai kekuatan
kultural untuk merawat nilai-nilai luhur dan NKRI sebagai titik-tolak
social-politik untuk terlibat dalam pergulatan antar bangsa. Selanjutnya,
keseluruhan gerak NU harus koheren (padu) dalam nalar strategi dan
pengorganisasiannya, dari tingkat local sampai tingkat global.
Menurut Kiai Yahya, konstruksi organisasi NU yang ada saat
ini belum cukup mengalami penyesuaian sehingga formatnya relatif tidak berubah
sejak 1952. Hal ini mengakibatkan NU cenderung semakin kedodoran dalam
menanggapi masalah-masalah yang datang semakin deras dan terancam irrelevan.
Oleh sebab itu diperlukan transformasi konstruksi organisasi agar lebih cocok
dengan konteks realitas kekinian dan masa depan. Kontruksi yang dimaksud Kiai
Yahya meliputi pola konfigurasi agenda-agenda yang ditetapkan, pola hubungan
antara jam’iyyah dengan jama’ah, mekanisme-mekanisme rekrutmen kepemimpinan dan
kualifikasi personalia kepemimpinan dan pelaksana program.
Sebagai pengurus tingkat Kecamatan, mencermati paparan Kiai
Yahya tentang kontruksi organisasi di atas, saya seperti dibuai dengan
cita-cita indah dan luhur, apalagi dalam pengalaman yang saya jajaki, memang
ada persoalan cukup laten dalam konstruksi organisasi, kurang segar, seperti
beku, mandeg, ajeg, dan kurang-kurang lainnya. Butuh dorongan yang kuat untuk
menjalankan roda organisasi yang sekian lama ngaso, dan berkarat.
Dalam penjelasan selanjutnya, Kiai Yahya menjelaskan format
ideal bagi konstruksi organisasi NU adalah format pemerintahan. Format
pemerintahan dengan fungsi-fungsi utama: menyediakan pelayanan bagi warga,
menetapkan dan menerapkan regulasi agar pelayanan dapat diakses secara adil dan
transparan, dan mobilisasi sumberdaya-sumberdaya serta redistribusinya bagi
instrument-instrumen organisasi dan warga.
Seperti masih kurang puas, Kiai Yahya juga menambahkan bahwa
untuk mencapai format ideal itu diperlukan bukan hanya transformasi struktur
dan format manajemen, tapi juga transformasi pola piker (mindset) dan
mentalitas. Kiai Yahya seperti hendak menegaskan bahwa cita-cita agung,
cita-cita peradaban mesti diusung oleh sumberdaya yang mumpuni, bangunan yang
kokoh, atau alat angkut yang kuat lagi luwes. Ini mengingatkan saya pada
sanepan lama tentang NU yang kerap diibaratkan dengan lokomotif dengan gerbong
keretanya yang berisi warga NU. Kereta Api merupakan alat angkut yang kuat juga
kencang jalannya, membawa penumpang sesuai tujuan, istiqomah berjalan di atas
rel yang sama dari ujung keberangkatan sampai tujuan.
Kiai Yahya juga mengingatkan bahwa tanggung jawab dan
tantangan NU di masa depan semakin luas dan beragam. Hal ini menuntut
inklusivikasi khidmah dan kebangkitan dalam tiga jalur pergulatan, yaitu kebangkitan
intelektualisme, kebangkitan teknokrasi, dan kebangkitan kewirausahaan. Gagasan
Kiai Yahya yang terakhir ini saya yakin sepenuhnya menjiplak, atau setidaknya
meneruskan apa yang sudah pernah digagas dan diperjuangkan Gus Dur, yang
disampaikan Gus Dur di hadapan Kiai-kiai sepuh pada pertemuan alim ulama di
Pondok Pesantren Arjawinangun tahun 80an silam.
Semoga angen-angen baik AS Laksana tidak luput, menjuduli
bukunya yang bersampul wajah Kiai Yahya itu dengan judul, “Menghidupkan Gus
Dur”. Amiin.
0 Comments