ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

KIAI YAHYA DALAM LAUTAN POLO DAN PANTAT (BAG- I)

Kamis, 30 Desember 2021

 

Perhelatan Muktamar ke 34 di Lampung sudah usai. Para panitia sudah beberes tempat, dan sebelumnya para Muktamirin dan Romli, Rombongan Liar/Lillahi Ta'ala, Nahdliyyin hadirin muktamar yang datang bukan karena punya hak pilih, melainkan datang sebab ‘bungah’, juga sudah pulang. Ada yang pulang naik pesawat, jet, kapal laut, dan angkutan umum lainnya.

Muktamar selalu menarik bagi semua nahdliyin (warga NU), baik nahdliyin yang menjadi pengurus struktural mau pun kultural, nahdliyin yang tidak menjabat sebagai pengurus struktural. Semua senang mengikut jalannya Muktamar, apalagi jika mendapati calon Ketua Tanfidziah merupakan ulama yang dipanutinya. Kebetulan saja semua jajaran pucuk pimpinan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam yang lahir pada tahun 1926 ini adalah ulama atau sedikitnya seorang yang mumpuni untuk memimpin organisasi Islam besar yang umurnya lebih tua dari republik ini.

Muktamar NU ke 34 di Lampung memilih Kiai Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Tanfidz, dan kembali memilih Kiai Miftachul Akhyar sebagai Rais ‘Am. Seperti kelaziman yang tidak dapat disangkal, setiap Ketua Tanfidz terpilih, adalah sosok yang kumplit, sebagai pendakwah, pemikir dan sekaligus penulis yang baik. Kiai Yahya Ketua Tanfidz baru itu meneruskan tradisi pendahulunya, seperti Kiai Said Aqil Siradj, Kiai Hasyim Muzadi, Gus Dur, Kiai Wachid Hasyim, Kiai Saefuddin Zuhri, dan ketua yang lain. Mereka adalah para pemikir yang sumbangan pemikirannya tidak hanya berdampak penting dan bermanfaat bagi lingkungannya saja, melainkan untuk semua masyarakat di luar batasan organisasi.

Kiai Yahya adalah putra dari Kiai Cholil Bisri, cucu dari Kiai Bisri Musthofa. Bapak dan Kakeknya adalah penulis produktif di tengah tugasnya sebagai pendakwah yang berdakwah di banyak tempat, dan juga pengasuh pondok pesantren Roudlatut Thalibin Leteh Rembang. Selain itu Kiai Yahya juga keponakan dari Kiai Musthofa Bisri, tokoh penting Nahdlatul Ulama, yang pernah menjadi Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, pengasuh pondok pesantren, budayawan, pelukis, dan juga seorang penulis produktif. Kalaupun tidak lantas disebut mempengaruhi, atau ketenaran Kiai Yahya disangkutkan pada nama-nama besar yang saya sebutkan di atas, sedikitnya di dalam lingkungan keluarga itulah Kiai Yahya tumbuh.

Tahun kemarin, awal tahun 2020, Kiai Yahya menerbitkan sebuah buku, berjudul "PBNU Perjuangan Nahdlatul Ulama, Tajdid Jam’iyyah Untuk Khidmah Milenial". Tidak terlalu sukar ditebak, buku itu jelas disiapkan untuk merangkum gagasan Kiai Yahya menjelang pencalonannya sebagai Ketua Tanfidz. Buku itu sepertinya dicetak terbatas, atau dicetak banyak namun tidak sempat beredar, sebab keburu datang badai pandemi yang membatasi apa saja saat itu. Namun buku ini sempat dibedah di Kantor PBNU.

Buku ini cukup gamblang memaparkan gagasan-gagasan Kiai Yahya. Kekhasan tulisan Kiai Yahya sangat terasa, tulisan yang tegas, tidak berputar putar, atau langsung pada sasaran yang dimaksudkan. Buku ini dibuka dengan sebuah ‘Manifesto’, sebuah pernyataan sikap yang cukup tegas tentang perjuangan. Berikut isi Manifesto tersebut;

“Dalam dunia fana yang ganas ini, apakah engkau akan memperjuangkan sendiri nasibmu atau mendaulat orang yang jani berjuang untukmu?"

Dalam lautan polo dan pantat, apakah kalian akan saling bergandeng tangan dan berbagi dalam susah-payah demi kesetiaan pada martabat atau ramai-ramai menadahkan tangan berebut sedekah dan belas kasihan?

Di tengah kepungan rampok, apakah kalian kuat sengsara lebih lama, berkorban lebih banyak atas nama harga diri atau lebih suka selamat ala kadarnya, membiarkan rampok mengambil yang mereka suka asal masih ada untuk kalian sisanya?

Di depan cermin nanti, apakah kau berani memandang wajahmu  atau melengos supaya lebih nyenyak tidurmu?

Apakah buyut-canggahmu nanti adalah budak-budak yang mengutukmu atau orang-orang gagah yang menangis mengenang penderitaan dan jasa-jasamu?”

Sebuah manifesto yang cukup gamblang apa maunya. Buku PBNU Perjuangan Nahdlatul Ulama, ini memang berbeda dari banyak buku yang ditulis oleh penulis NU sebelumnya, apalagi menyangkut perhatian kepada hal-hal di luar bahasan yang kerap menjadi kajian pembahasan di dalam pertemuan-pertemuan Nahdlatul Ulama.

Dalam buku ini Kiai Yahya hendak mengingatkan kembali, bahwa ada cita-cita penting organisasi yang mesti terus diperjuangkan. Bukan cita-cita remeh temeh, melainkan cita-cita agung, bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan dengan mengusung cita-cita peradaban, yaitu mewujudkan tata dunia yang harmonis dan adil berdasarkan akhlaqul karimah dan penghormatan terhadap kesetaraan martabat di anatara sesama manusia.

Bukan main apa yang disampaikan oleh Kiai Yahya, ada cita-cita peradaban terangnya. Menurut Kiai Yahya, strategi  menuju cita-cita itu diawali dengan konsolidasi basis, yaitu memberdayakan jama’ah (komunitas) sebagai kekuatan kultural untuk merawat nilai-nilai luhur dan NKRI sebagai titik-tolak social-politik untuk terlibat dalam pergulatan antar bangsa. Selanjutnya, keseluruhan gerak NU harus koheren (padu) dalam nalar strategi dan pengorganisasiannya, dari tingkat local sampai tingkat global.

Menurut Kiai Yahya, konstruksi organisasi NU yang ada saat ini belum cukup mengalami penyesuaian sehingga formatnya relatif tidak berubah sejak 1952. Hal ini mengakibatkan NU cenderung semakin kedodoran dalam menanggapi masalah-masalah yang datang semakin deras dan terancam irrelevan. Oleh sebab itu diperlukan transformasi konstruksi organisasi agar lebih cocok dengan konteks realitas kekinian dan masa depan. Kontruksi yang dimaksud Kiai Yahya meliputi pola konfigurasi agenda-agenda yang ditetapkan, pola hubungan antara jam’iyyah dengan jama’ah, mekanisme-mekanisme rekrutmen kepemimpinan dan kualifikasi personalia kepemimpinan dan pelaksana program.

Sebagai pengurus tingkat Kecamatan, mencermati paparan Kiai Yahya tentang kontruksi organisasi di atas, saya seperti dibuai dengan cita-cita indah dan luhur, apalagi dalam pengalaman yang saya jajaki, memang ada persoalan cukup laten dalam konstruksi organisasi, kurang segar, seperti beku, mandeg, ajeg, dan kurang-kurang lainnya. Butuh dorongan yang kuat untuk menjalankan roda organisasi yang sekian lama ngaso, dan berkarat.

Dalam penjelasan selanjutnya, Kiai Yahya menjelaskan format ideal bagi konstruksi organisasi NU adalah format pemerintahan. Format pemerintahan dengan fungsi-fungsi utama: menyediakan pelayanan bagi warga, menetapkan dan menerapkan regulasi agar pelayanan dapat diakses secara adil dan transparan, dan mobilisasi sumberdaya-sumberdaya serta redistribusinya bagi instrument-instrumen organisasi dan warga.

Seperti masih kurang puas, Kiai Yahya juga menambahkan bahwa untuk mencapai format ideal itu diperlukan bukan hanya transformasi struktur dan format manajemen, tapi juga transformasi pola piker (mindset) dan mentalitas. Kiai Yahya seperti hendak menegaskan bahwa cita-cita agung, cita-cita peradaban mesti diusung oleh sumberdaya yang mumpuni, bangunan yang kokoh, atau alat angkut yang kuat lagi luwes. Ini mengingatkan saya pada sanepan lama tentang NU yang kerap diibaratkan dengan lokomotif dengan gerbong keretanya yang berisi warga NU. Kereta Api merupakan alat angkut yang kuat juga kencang jalannya, membawa penumpang sesuai tujuan, istiqomah berjalan di atas rel yang sama dari ujung keberangkatan sampai tujuan.

Kiai Yahya juga mengingatkan bahwa tanggung jawab dan tantangan NU di masa depan semakin luas dan beragam. Hal ini menuntut inklusivikasi khidmah dan kebangkitan dalam tiga jalur pergulatan, yaitu kebangkitan intelektualisme, kebangkitan teknokrasi, dan kebangkitan kewirausahaan. Gagasan Kiai Yahya yang terakhir ini saya yakin sepenuhnya menjiplak, atau setidaknya meneruskan apa yang sudah pernah digagas dan diperjuangkan Gus Dur, yang disampaikan Gus Dur di hadapan Kiai-kiai sepuh pada pertemuan alim ulama di Pondok Pesantren Arjawinangun tahun 80an silam.

Semoga angen-angen baik AS Laksana tidak luput, menjuduli bukunya yang bersampul wajah Kiai Yahya itu dengan judul, “Menghidupkan Gus Dur”. Amiin.

 

Penulis : Bagus Sigit Setiawan

Wakil Bendahara MWC NU Kec. Kartasura
(Sumber : rumahbaca.id) 

Share This :

0 Comments