ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

SEBAB UTAMA TAAT KEPADA ALLAH

Rabu, 23 Juni 2021

 

Foto : Mukhlisul Ibad

Dalam proses beragama, kita sering mendengarkan ceramah dai, kiai, ustadz yang memberi semangat kepada kita untuk beramal kebaikan, baik itu ibadah murni kepada Allah seperti shalat dan puasa, atau pun ibadah sosial seperti zakat dan sedekah. Mendengar ceramah-ceramah para beliau, kita menjadi termotivasi untuk beramal, meningkatkan ketaatan, dan ketakwaan kita kepada Allah demi meraih ridha Allah, masuk ke dalam surga milik Allah, dan jauh dari siksa neraka Allah.

Dalam proses beramal itu, kita mungkin merasa bahwa pengetahuan kita mengenai fadhilah amal adalah penyebab kita menjadi semangat beramal. Kita lalu senang dengan kajian-kajian yang membahas mengenai fadhail amal (keutamaan-keutamaan amal), tentang pintu surga, dan lain sebagainya agar kita menjadi semakin giat beramal mendekatkan diri kepada Allah.

Tentu saja, ilmu memang menjadi pondasi kita beramal.

Tentu saja, ilmu memang menjadi pondasi kita beramal. Kita sering mendengar, tanpa ilmu, maka amal kita tertolak. Dengan ilmu, kita menjadi semangat beribadah. Berkat menuntut ilmu pula, kita menjadi orang yang didoakan malaikat, ikan-ikan di lautan, sehingga semakin besar dan kokoh kemantapan kita dalam meniti jalan ketakwaan kepada Allah.

Pertanyaannya, apakah ilmu merupakan sebab utama kita menjadi pribadi yang taat kepada Allah? Jawabannya, mari kita telaah dalam tulisan di bawah ini

Salah satu wirid yang diajarkan oleh guru-guru kita adalah memperbanyak ucapan "laa haula wa laa quwwata illaa billaah." Kalimat ini, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, biasanya dimaknai "Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah." Apakah terjemahan bahasa Indonesia ini sudah sukses menancapkan kalimat tersebut di dalam diri kita? Jika belum, mari kita ingat-ingat lagi makna yang diajarkan guru-guru kita dalam bahasa Jawa

Laa haula dimaknai "Ora ana doyo sumingkir andoh songko maksiat. "(Tidak ada daya dalam menjauhi maksiat), dan wa laa quwwata dimaknai "lan ora ana kekuatan nglakoni ibadah." (Tidak ada kekuatan dalam melaksanakan ibadah)

Jadi, lengkapnya, laa haula wa laa quwwata illaa billaah dimaknai "Tidak ada daya menjauhi maksiat dan tidak ada kemampuan atau kekuatan dalam melaksanakan ibadah kecuali dengan pertolongan Allah."

K.H. Mahrus Chudlori, Pengasuh Ponpes Nurul Huda Simbang Kulon, Buaran, Pekalongan, memberikan penjelasan mengenai makna kalimat ini

"Pada hakikatnya.", menurut beliau, "Manusia pasti ingin melaksanakan maksiat. Itu yang dimaksud 'ora ana doyo sumingkir saking maksiat.' Maka, ketika ia tidak bermaksiat, itu karena pertolongan Allah. Kemudian, ketika manusia dijauhkan dari maksiat, lalu melaksanakan ibadah, itu juga karena pertolongan Allah."

Begitu jelinya kiai-kiai kita dalam memberikan makna kalimat sederhana ini. Di mana akhirnya kita, dengan logika penjelasan di atas, akan memahami bahwa hakikat kita adalah ingin selalu durhaka kepada Allah, bahkan tidak ingin melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Akan tetapi, dengan pertolongan-Nya, dengan kasih sayang-Nya, kita menjadi pribadi-pribadi yang berusaha menjadi lebih baik. Sungguh, itu bukan karena pengetahuan kita, ilmu kita, kemampuan kita, namun murni karena pertolongan dan kasih sayang Allah.

 Akhir kata, dengan pemahaman di atas, seharusnya kita dijauhkan dari sifat sombong dalam beramal, dan putus asa dari rahmat Allah ketika tergelincir melakukan dosa. Siapapun orangnya, manusianya, selama dia masih terus berharap kepada Allah, meminta petunjuk Allah, dan menepis kesombongan akan amalnya karena Allah, maka dia pun akan selamat dunia dan akhirat, juga dengan pertolongan Allah. In syaa Allaah

Laa haula wa laa quwwata illaa billaah

Wallaahu A'lam bish showwab


Penulis : Muhammad Ibnu Salamah

Share This :

0 Comments