ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

MEDIA, ILMU DAN ISLAM : PENTINGNYA MEMILIKI GURU (BAG II)

Rabu, 05 Agustus 2020


Adalah penting mencari ilmu dengan seorang alim (ustaz). Pun tidak bisa pukul rata bahwa semua ustaz memiliki kemampuan yang kompeten untuk kancah nasional maupun internasional. Bahasa mudahnya diakui kelimuannya tidak hanya dalam lingkup tempat tinggal atau mikro, akan tetapi juga dalam lingkup makro, khususnya kalangan intelektual Islam yang sezaman.

Secara tidak langsung, ahli ilmu merupakan tokoh penting bagi individu dalam mencari ilmu.  Hadirnya seorang ustaz yang kompeten dan teruji keilmuannya dalam proses pencarian ilmu, berdampak baik pada pola pikir individu. Lazimnya, argumentasi seorang yang kompeten sangat tajam dan sesuai dengan kondisi individu. Maksudnya, seorang ahli yang kompeten biasanya mampu bersikap adil; adil dalam menggunakan bahasa yang mudah dipaham kepada yang awam dan juga sebaliknya. Mampu menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya sesuatu itu bertempat.

Dalam hal ini, media sosial dengan segala informasinya sangatlah membantu wawasan seorang individu juga seorang ustaz. Kehadiran media sosial dalam agama menjadi sarana baik melihat kondisi keberagamaan dalam lingkup nasional dan internasional. Jika sebelumnya, segala perkara umumnya ihwal lokalitas tempat semata, kini lebih luas dengan hadirnya media sosial sebagai fasilitas penting yang mempermudah manusia dalam melihat dunia dan permasalahannya.

Media sosial memiliki peranan penting bagi epistemologi manusia dalam menggali informasi. Meskipun, tidak semua informasi yang ditampung benar atau sesuai data dilapangan; mengingat media hadir juga sebagai kuasa kelompok untuk menjalankan visi rahasia yang buruk. Diantaranya menyebarkan berita hoax dan adu domba. Sehingga, dapat merusak tatanan kedamaian dalam kancah lokal, nasional bahkan internasional antar negara juga kedaulatannya.

Dalam hal ini, seorang individu tentunya membutuhkan seorang penguji atas informasi yang di dapatnya dari berbagai alamat; baik melalui teman pergaulan maupun seorang guru yang kompeten dalam keilmuan dan keilmiahan berbagai literasi. Sehingga, peran ustaz tidak lain ialah sebagai pembanding nalar kritis dalam hubungannya mencari keilmiahan suatu problema. Akhirnya di dapat suatu paham yang kokoh dalam argumentasi dan tentunya jauh dari taklid buta semata.

Dalam Islam, anjuran untuk bertanya kepada ahlinya merupakan salah satu bukti bahwa sudah ‘sepatutnya’ dalam beragama dan hidup bersosial budaya; manusia dengan nalar aktifnya (tidak cacat pikir) idealnya memiliki seorang yang diakui keilmuan dan keilmiahan yakni guru. Perlu digarisbawahi, untuk mencapai visi suatu kesimpulan yang kokoh dalam argumentasi, epistemologi perlu diuji untuk mendapatkan argumentasi yang sesuai dengan kadar pemahaman setiap individu; mengingat bahwa antar individu lazimnya memiliki corak pengetahuan yang berbeda dengan jalan pahamnya yang berbeda.

Dalam Islam, anjuran untuk bertanya kepada ahlinya merupakan salah satu bukti bahwa sudah ‘sepatutnya’ dalam beragama dan hidup bersosial budaya

Dialektika intens dalam menemukan kebenaran tidak hanya cukup dengan modal literasi semata, melainkan juga penalaran kritis dan pembahasaan yang sesuai. Sosok ustaz dalam hal ini tidak sepenuhnya menjadi pengatur individu dalam beragama, akan tetapi menjadi team penguji atas epistemologi individu. Secara mudah, eksistensi ustaz dalam ruang ini ialah sebagai pembimbing.

Seperti yang sudah diketahui, proses bimbingan tidak bisa terhindarkan dari suatu pekerjaan yang dilakukan dengan menawarkan beberapa pilihan kepada pasien yakni individu, dengan tujuan meminimalisir kebingungan menuju pencerahan. Sebagai pembimbing, ustaz memiliki tugas berat yang cukup akademis yakni harus objektif. Objektifitas ini difungsikan untuk menemukan alur pembahasan yang runtut dan penuh argument. Alhasil, dapat memberi stimulus individu untuk memikirkan kembali problematika dalam epistemologinya.

Selain itu, eksistensi seorang guru juga dapat mengisi ranah spiritual individu. Lazimnya identik dengan sanad.  Sanad dalam mencari ilmu agama tidak cukup di dapatkan dari buku maupun kitab bacaan semata, melainkan perlu adanya guru yang juga merupakan hasil dari didikan seorang gurunya yang bersanad. Umumnya, posisi ini diisi penuh oleh kalangan cendekiawan pesantren yakni kiai dan ustaznya.  Sebab, ketersambungan ilmu sampai risalah sangatlah penting.

Tidak kalah pentingnya juga dengan fungsi nalar. Nalar menjadi modal penting bagi para ustaz (alim ulama yang diakui keilmuannya oleh mayoritas agamawan dan intelektual) untuk membedah permasalahan dalam agama yang tentunya tidak sama dengan sebelumnya. Faktanya semakin hari persoalan baru dalam kancah agama bertambah dan baru. Hal demikianlah yang mengharuskan para ustaz berkontribui dalam mengambil keputusan yang tentunya tidak sepele, melainkan penuh pertimbangan. Sebab, menyangkut masa depan peradaban dalam mnyongsong perdamaian umat dan ketenangan hidup.

Hadirnya seorang ustaz dalam pencarian ilmu seorang individu tidak lantas berperan sebagai pelaku (imam) perihal ritual peribadatan semata. Lebih dari itu, ustaz dalam hal ini mampu memberikan kebebasan penuh pada individu dalam mencari ilmu. Argumen dari seorang murid yang bertanya dan memberi penjelasan atas kepahamannya terhadap perkara memberikan celah bagi ustaz untuk membimbing pemikiran seorang murid.

Lebih dari itu, ustaz dalam hal ini mampu memberikan kebebasan penuh pada individu dalam mencari ilmu. 

Berkaitan dengan hal tersebut, posisi guru sangatlah penting. Selain untuk menajamkan pemikiran seorang individu dalam beragama secara benar dan berdasar pemahamannya, guru juga menyebarluaskan ajarannya yang bersanad kepada para santrinya. Sehingga, ruang epistemologi kekat dengan ihwal normativitas dan historisitas. Oleh sebab itu, dianjurkan bagi siapapun untuk berguru. Tidak hanya mementingkan sanad, melainkan juga objektifitas.

Jika tidak memiliki guru, kemungkinan besar ruang pertanyaan sangatlah sedikit. Bahkan cenderung merasa mengetahui semuanya dan ingin dipandang besar juga cerdas. Bahaya ini sangat mungkin terjadi; mengingat ruang kemungkinan nafsu dalam beragama dan berilmu tidak dapat dipungkiri. Maka, sudah menjadi penting untuk berguru; sebagai ladang jawaban atas berbagai kebingungan yang melanda.

Dalam Islam banyak sekali contoh-contoh yang demikian. Eksistensi guru sangat digambarkan begitu penting dalam mencari ilmu, terkhusus agama. Rasul Muhammad juga mencontohkan bahwa ia berguru pada malaikat Jibril. Pun Malaikat Jibril berguru pada Allah. Sehingga, sebagai umat Rasul Muhammad, idealnya mengikuti cara dan jejak penjelajahannya dalam sejarah untuk menjadikan tolak ukur juga teladan bagi kehidupan manusia dalam beragama dan bersosial budaya.

Pun demikian kecerdasannya dalam berpikir. Menunjukan bahwa ruang kebijaksanaannya sangat luas. Pertimbangan-pertimbangan yang hadir tentunya tidak lepas dari gurunya yang tentunya tidak lepas pula dari gurunya guru. Meski demikian, gambaran ini hanya sebatas mengidentifikasi bagaimana Islam menganjurkan umatnya untuk mendalami ilmu agama dengan berguru pada yang kompeten dan sesuai dengan ajaran. Tidak taklid, pun tidak penuh pertimbangan.

Penulis: M. Khusnun Niam
Share This :

0 Comments