Adalah penting
mencari ilmu dengan seorang alim (ustaz). Pun tidak bisa pukul rata bahwa semua
ustaz memiliki kemampuan yang kompeten untuk kancah nasional maupun internasional.
Bahasa mudahnya diakui kelimuannya tidak hanya dalam lingkup tempat tinggal
atau mikro, akan tetapi juga dalam lingkup makro, khususnya kalangan
intelektual Islam yang sezaman.
Secara tidak
langsung, ahli ilmu merupakan tokoh penting bagi individu dalam mencari
ilmu. Hadirnya seorang ustaz yang
kompeten dan teruji keilmuannya dalam proses pencarian ilmu, berdampak baik
pada pola pikir individu. Lazimnya, argumentasi seorang yang kompeten sangat
tajam dan sesuai dengan kondisi individu. Maksudnya, seorang ahli yang kompeten
biasanya mampu bersikap adil; adil dalam menggunakan bahasa yang mudah dipaham
kepada yang awam dan juga sebaliknya. Mampu menempatkan sesuatu pada tempat
yang seharusnya sesuatu itu bertempat.
Dalam hal ini,
media sosial dengan segala informasinya sangatlah membantu wawasan seorang
individu juga seorang ustaz. Kehadiran media sosial dalam agama menjadi sarana
baik melihat kondisi keberagamaan dalam lingkup nasional dan internasional.
Jika sebelumnya, segala perkara umumnya ihwal lokalitas tempat semata, kini
lebih luas dengan hadirnya media sosial sebagai fasilitas penting yang
mempermudah manusia dalam melihat dunia dan permasalahannya.
Media sosial
memiliki peranan penting bagi epistemologi manusia dalam menggali informasi.
Meskipun, tidak semua informasi yang ditampung benar atau sesuai data
dilapangan; mengingat media hadir juga sebagai kuasa kelompok untuk menjalankan
visi rahasia yang buruk. Diantaranya menyebarkan berita hoax dan adu domba.
Sehingga, dapat merusak tatanan kedamaian dalam kancah lokal, nasional bahkan
internasional antar negara juga kedaulatannya.
Dalam hal ini,
seorang individu tentunya membutuhkan seorang penguji atas informasi yang di
dapatnya dari berbagai alamat; baik melalui teman pergaulan maupun seorang guru
yang kompeten dalam keilmuan dan keilmiahan berbagai literasi. Sehingga, peran
ustaz tidak lain ialah sebagai pembanding nalar kritis dalam hubungannya
mencari keilmiahan suatu problema. Akhirnya di dapat suatu paham yang kokoh
dalam argumentasi dan tentunya jauh dari taklid buta semata.
Dalam Islam,
anjuran untuk bertanya kepada ahlinya merupakan salah satu bukti bahwa sudah
‘sepatutnya’ dalam beragama dan hidup bersosial budaya; manusia dengan nalar
aktifnya (tidak cacat pikir) idealnya memiliki seorang yang diakui keilmuan dan
keilmiahan yakni guru. Perlu digarisbawahi, untuk mencapai visi suatu
kesimpulan yang kokoh dalam argumentasi, epistemologi perlu diuji untuk
mendapatkan argumentasi yang sesuai dengan kadar pemahaman setiap individu; mengingat
bahwa antar individu lazimnya memiliki corak pengetahuan yang berbeda dengan
jalan pahamnya yang berbeda.
Dalam Islam, anjuran untuk bertanya kepada ahlinya merupakan salah satu bukti bahwa sudah ‘sepatutnya’ dalam beragama dan hidup bersosial budaya
Dialektika intens
dalam menemukan kebenaran tidak hanya cukup dengan modal literasi semata,
melainkan juga penalaran kritis dan pembahasaan yang sesuai. Sosok ustaz dalam
hal ini tidak sepenuhnya menjadi pengatur individu dalam beragama, akan tetapi
menjadi team penguji atas epistemologi individu. Secara mudah, eksistensi ustaz
dalam ruang ini ialah sebagai pembimbing.
Seperti yang sudah
diketahui, proses bimbingan tidak bisa terhindarkan dari suatu pekerjaan yang
dilakukan dengan menawarkan beberapa pilihan kepada pasien yakni individu,
dengan tujuan meminimalisir kebingungan menuju pencerahan. Sebagai pembimbing,
ustaz memiliki tugas berat yang cukup akademis yakni harus objektif.
Objektifitas ini difungsikan untuk menemukan alur pembahasan yang runtut dan
penuh argument. Alhasil, dapat memberi stimulus individu untuk memikirkan
kembali problematika dalam epistemologinya.
Selain itu,
eksistensi seorang guru juga dapat mengisi ranah spiritual individu. Lazimnya
identik dengan sanad. Sanad dalam
mencari ilmu agama tidak cukup di dapatkan dari buku maupun kitab bacaan semata,
melainkan perlu adanya guru yang juga merupakan hasil dari didikan seorang gurunya
yang bersanad. Umumnya, posisi ini diisi penuh oleh kalangan cendekiawan
pesantren yakni kiai dan ustaznya. Sebab,
ketersambungan ilmu sampai risalah sangatlah penting.
Tidak kalah
pentingnya juga dengan fungsi nalar. Nalar menjadi modal penting bagi para
ustaz (alim ulama yang diakui keilmuannya oleh mayoritas agamawan dan
intelektual) untuk membedah permasalahan dalam agama yang tentunya tidak sama
dengan sebelumnya. Faktanya semakin hari persoalan baru dalam kancah agama
bertambah dan baru. Hal demikianlah yang mengharuskan para ustaz berkontribui
dalam mengambil keputusan yang tentunya tidak sepele, melainkan penuh
pertimbangan. Sebab, menyangkut masa depan peradaban dalam mnyongsong
perdamaian umat dan ketenangan hidup.
Hadirnya seorang
ustaz dalam pencarian ilmu seorang individu tidak lantas berperan sebagai
pelaku (imam) perihal ritual peribadatan semata. Lebih dari itu, ustaz dalam
hal ini mampu memberikan kebebasan penuh pada individu dalam mencari ilmu.
Argumen dari seorang murid yang bertanya dan memberi penjelasan atas
kepahamannya terhadap perkara memberikan celah bagi ustaz untuk membimbing
pemikiran seorang murid.
Lebih dari itu, ustaz dalam hal ini mampu memberikan kebebasan penuh pada individu dalam mencari ilmu.
Berkaitan dengan
hal tersebut, posisi guru sangatlah penting. Selain untuk menajamkan pemikiran
seorang individu dalam beragama secara benar dan berdasar pemahamannya, guru
juga menyebarluaskan ajarannya yang bersanad kepada para santrinya. Sehingga,
ruang epistemologi kekat dengan ihwal normativitas dan historisitas. Oleh sebab
itu, dianjurkan bagi siapapun untuk berguru. Tidak hanya mementingkan sanad,
melainkan juga objektifitas.
Jika tidak
memiliki guru, kemungkinan besar ruang pertanyaan sangatlah sedikit. Bahkan
cenderung merasa mengetahui semuanya dan ingin dipandang besar juga cerdas.
Bahaya ini sangat mungkin terjadi; mengingat ruang kemungkinan nafsu dalam
beragama dan berilmu tidak dapat dipungkiri. Maka, sudah menjadi penting untuk
berguru; sebagai ladang jawaban atas berbagai kebingungan yang melanda.
Dalam Islam banyak
sekali contoh-contoh yang demikian. Eksistensi guru sangat digambarkan begitu
penting dalam mencari ilmu, terkhusus agama. Rasul Muhammad juga mencontohkan
bahwa ia berguru pada malaikat Jibril. Pun Malaikat Jibril berguru pada Allah.
Sehingga, sebagai umat Rasul Muhammad, idealnya mengikuti cara dan jejak
penjelajahannya dalam sejarah untuk menjadikan tolak ukur juga teladan bagi
kehidupan manusia dalam beragama dan bersosial budaya.
0 Comments