Ada hal yang saya kurang sepakati dari bahasa para pendakwah sekarang. Mereka mengatakan Nabi ilmuwan lah, dokter lah, ahli strategi perang lah. Apakah itu salah? Tidak juga. Hanya saja, gelar utusan Allah (Rasulullah perlu kita unggulkan dari sebutan sebutan itu. Ilmuwan, dokter, ahli strategi perang merupakan hal hal yang terkait dengan akal. Sedangkan Rasul terkait dengan wahyu. Adapun wahyu lebih tinggi nilainya dari akal.
Orang orang lebih merasa keren jika Rasul dikaitkan dengan ilmu ilmu akliyyah. Ini sebuah kekeliruan. Harusnya, kita lebih merasa bahwa Rasulullah keren krn dikaitkan dengan ilmu ilmu ilahiyyah, kewahyuan.Mengapa beliau tahu berapa sendi dalam tubuh kita, proses penciptaan manusia dalam rahim, menjadi panglima perang, dan lain lain, itu semata bersifat wahyu.
Apakah mengatakan hal ini menjadikan Rasulullah tidak bisa dicontoh? Bodoh sekali jika berpendapat demikian. Baik itu ilmuwan, dokter, presiden, hingga kepala rumah tangga justru harus mencontoh Rasul dengan keluar dari lingkaran akliyyah, menuju lingkaran ilahiyyah.
Kita menjadi dokter, presiden, kepala rumah tangga, semuanya berporos pada Allah, lewat contoh Rasulullah. Bukan semata akal dan profesi kita.Itu hal pertama. Hal kedua yang juga tidak saya sepakati adalah ketika kita merasa bangga ketika ada pembuktian kebenaran Al Quran lewat sains. Penciptaan awal manusia, orbit planet, penemuan jasad Firaun adalah sedikit dari banyak pengetahuan sains yang bersesuaian dengan Al Quran.
Orang orang juga mengatakan bahwa tidak ada pembahasan di dalam Al Quran yang bertentangan dengan sains.Sekilas, kita menjadi bangga bahwa kitab suci kita selalu up to date dengan pengetahuan zaman. Akan tetapi, di sisi lain, kita menjadikan sains sebagai tolok ukur kebenaran.
Padahal, kita tahu, bahwa sains juga bersifat relatif. Ada teori teori yang bisa dikritik dan dihapus, sementara Al Quran bersifat mutlak dan tidak berubah.Apakah perlu menjauhkan sains dari Quran? Tidak juga. Cukup meletakkan sains pada tempatnya. Di mana tempatnya? Ranah tafsir, bukan ranah pembuktian kebenaran Al Quran. Secara iman, kebenaran Al Quran harus diyakini, baik bisa dibuktikan dg sains atau tidak. Jadi, pembahasan sains tidak perlu kita tonjolkan terkait dengan kebenaran Al Quran.
Akan tetapi, dalam Tafsir, kita perlu menggandeng sains, seperti tafsir juga menggandeng ilmu ilmu sosologi, sejarah, bahkan Israiliyya.Contoh saja, kalimat Alaq dalam Al Quran, sebelumnya diterjemahkan dan ditafsirkan segumpal darah. Tapi, setelah ditemukan alat pendeteksi janin yang melihat bahwa sifat janin seperti lintah, menempel dan menghisap, sedangkan alaq adalah jama' (bentuk prural dari 'alaqah, yang berarti lintah), maka tafsir Alaq lebih tepat menjadi "sesuatu yang seperti lintah."
Kita perlu kagum karena Al Quran detail sekali menerangkan hal yang belum diketahui banyak orang waktu itu, yang mana belum ada alat untuk mendeteksi janin. Tapi, kita tidak perlu berlebihan dengan menjadikan sains sebagai standar kebenaran Al Quran.
Akhir kalam, kebenaran Allah lebih mutlak dari kebenaran ilmu apapun. Itu harus kita yakini. Agar kita masuk menjadi hamba hamba yang berilmu pengetahuan yang berporos pada iman, bukan hanya berputar para hamba hamba yang mempunyai ilmu pengetahuan aqliyyah.
.
Wallaahu A'lam
Penulis : Muhammad Ibnu Salamah
Share This :
0 Comments