KH. Bisri Syansuri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, pada hari Rabu 28 Dzulhijjah 1304 H/ 18 September 1886. KH. Bisri Syansuri menikah dengan Nur Khadijah, adik perempuan sahabat karibnya, KH. Abdul Wahab Chasbullah. Pernikahan ini terjadi pada 1914. Ayahnya bernama Syansuri bin Abd. Shomad sementara ibunya bernama Mariah.
Beliau adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Keluarga beliau amat kuat dalam menjalankan ibadah. Maklum, dari silsilah ibunya, KH. Bisri Syansuri termasuk masih keluarga besar Kiai Kholil Kasingan Rembang dan Kiai Baidlowi Lasem dan tradisi yang masih melekat begitu kental dengan istilah “santri keliling” dimana harus menuntut ilmu ke berbagai daerah bahkan sampai ke haramain.
Salah satu guru beliau yaitu KH. Kholil, seorang ulama besar yang menjadi guru di seluruh Jawa waktu itu. Saat berguru kepada Kiai Kholil inilah KH. Bisri Syansuri bertemu dengan Kiai Abdul Wahab Chasbullah, seorang santri yang menjadi sahabat akrab, rekan perjuangan maupun sebagai iparnya.
Setelah beberapa lama belajar dengan KH. Kholil, beliau memutuskan melanjutkan menuntut ilmu di tempat lain, yakni di Pesantren Tebuireng, Jombang yang diasuh oleh pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1906. Selama di Tebuireng, KH. Bisri Syansuri mendapat ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, dari teks fikih Al-Zubad (yang kemudian akan menjadi kegemarannya) hingga ke hadis yang menjadi spesialisasi KH. Hasyim Asy'ari yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Selain menjalani tholabul ‘ilm, beliau juga menjadi pengasuh pesantren Denanyar Jombang. KH. Bisri Syansuri juga berperan aktif mendirikan Organisasi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Awalnya beliau menduduki jabatan sebagai A'wan (anggota) Syuriah dalam susunan PBNU. Selain itu beliau juga pernah menduduki jabatan sebagai Rais Aam Nahdlatul Ulama.
Sifat khas tawadhu’ KH. Bisri Syansuri dalam kepemimpanannya tampak ketika masa akhir jabatan Rais Aam pada waktu itu yang masih dipimpin oleh KH. Wahab Chasbullah. Pada saat berlangsungnya Muktamar NU ke-24 pada tahun 1967 di Bandung, KH. Bisri Syansuri menunjukkan sikap tawadlu' yang perlu kita teladani. Ketika itu sedang terjadi pemilihan Rais Aam yang melibatkan "rivalitas" antara dua kiai sepuh yang sama-sama berwibawa, yaitu KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Hasil pemilihan ternyata di luar dugaan, walaupun lebih muda ternyata KH. Bisri Syansuri meraih suara terbanyak. Ketika KH. Bisri Syansuri memberikan pidato atas kemenangannya, KH. Bisri Syansuri mengatakan selama masih ada KH. Abdul Wahab Chasbullah yang lebih senior dan lebih alim, KH. Bisri Syansuri tidak bersedia menduduki jabatan itu. "Karena itu saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu kepada K.H. Abdul Wahab Chasbullah." Itulah bukti sikap tawadlu’ KH. Bisri Syansuri yang bisa patut kita teladani.
Di sisi lain, keistimewaan KH. Bisri Syansuri juga seorang pembaharu dan pemikir. Khususnya dalam dunia pesantren yakni modernisasi pendidikan melaui pesantren. Buah pemikiran beliau adalah hasil refleksinya melihat dinamika zaman dan proses berdialektika dengan zaman. Modernisasi pendidikan Islam terus dilakukan oleh KH. Bisri Syansuri hingga akhirnya perjuangan berhasil didapatkan walaupun dalam kurun waktu yang cukup lama.
Sumber: M. Bustanul Ulum, “KH. M. BISRI SYANSURI DAN PEMBARUAN PESANTREN”, Journal Falasifa, Vol. 8 Nomor 2. STAI AL Falah As Sunniyyah Kencong Jember: September 2017.
Share This :
0 Comments