ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

MENELADANI SEPAK TERJANG LUAR BIASA PENGURUS NAHDLATUL ULAMA ERA MBAH HASYIM ASY’ARI (BIOGRAFI: KH. AMIR BIN IDRIS SIMBANG KULON )

Senin, 16 Desember 2019
1. Biografi Singkat
 Nama lengkapnya adalah Amir bin Idris bin Ahmad Shaleh. Beliau merupakan salah seorang ulama besar indonesia yang berasal dari Mundu, Cirebon. Beliau termasuk dalam jaringan ulama nusantara yang berjuang dan wafat pada permulaan abad 13 Hijriah atau abad 18 Masehi, seangkatan dengan ulama nusantara terkemuka lainnya, seperti Mbah Sholeh Darat Semarang, Syekh Mahfudz at-Turmusi, Syekh Yusuf an-Nabhani, Syekh Khotib Minangkabau, Mbah Hasyim Asy’ari Jombang, Syekh Munawir Jogja, Syekh Jauharuddin Balarante Cirebon dan lain sebagainya. Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1870 M atau 1287 H, namun menurut sumber yang lain, beliau bisa jadi lahir sebelum tahun 1870, karena beliau dikatakan lebih tua dari Mbah Hasyim Asy’ari yang lahir pada 1871 M. Beliau lahir di Mundu, Cirebon, akan tetapi dibesarkan di Dukuh Lumpur. Beliau mendapatkan pendidikan agama pertama langsung dari sang ayah. Konon sang ayah begitu telaten dalam mendidik KH. Amir Idris dan saudara-saudaranya hingga hampir setiap hari sang ayah akan mengevaluasi langsung apa yang telah KH. Amir Idris pelajari hingga benar-benar matang menguasai apa yang diajarkannya. Setelah baligh, KH. Amir Idris mulai belajar untuk membantu orang tuanya dalam menghidupi keluarga. Beliau menghabiskan hampir sepanjang harinya untuk menggembala kerbau di padang rumput yang luas sekitar desa Tawangsari. Akan tetapi, kesibukan tersebut sama sekali tidak mereduksi semangat KH. Amir Idris dalam mempelajari ilmu-ilmu agama yang belum dikuasainya. Beliau menghabiskan hampir seluruh waktu malamnya untuk belajar. Suatu ketika, beliau mulai merasakan kejenuhan dengan rutinitas yang beliau jalani. Akhirnya, beliau memohon kepada sang Ibu agar beliau diizinkan untuk belajar dan mencari ilmu di Tanah Suci Makkah, bahkan beliau menggertak jika permintaannya itu tidak dikabulkan, maka beliau tidak akan pulang kerumah setelah selesai menggembala kerbau di sore hari. Permintaan KH. Amir Idris itu pun kemudian dikabulkan oleh kedua orang tuanya, beliau diizinkan untuk belajar di Makkah bersama saudaranya, Umar. Diceritakan bahwa kedua orang tua beliau harus menjual beberapa tanah terlebih dahulu yang menjadi lahan pencaharian sehari-hari keluarga mereka sebagai ongkos keberangkatan KH. Amir Idris dan saudaranya ke Makkah dan bekal untuk mencukupi kehidupan sehari-hari disana. 

2. Belajar di Makkah 
Ketika belajar di Makkah, KH. Amir Idris satu angkatan dengan beberapa ulama besar indonesia lainnya, seperti Abdul Wahab Hasbullah dari Jombang Hasyim Asy’ari dari Jombang, Bagir dari Yogyakarta, Jauhar dari Balerante Cirebon, Masduqi dari Palimanan Cirebon, dan lain sebagainya. Disana beliau belajar dan menjadi murid dari ulama besar Makkah asal Nusantara yakni Syaikh Mahfudz bin Abdillah at-Tarmasi al-Makki. KH. Amir Idris muda mendapat tantangan yang cukup serius dalam menjalani kehidupan intelektualnya di Makkah. Beliau tidak didukung finansial yang memadai dari keluarganya, sehingga beliau kesulitan untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkannya, bahkan untuk makan sekalipun beliau harus benar-benar mengirit kiriman uang dari orang tuanya yang seringkali telat. Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak membuat KH. Amir Idris patah semangat, beliau kemudian berinisiatif mencoba meminjam kitab-kitab temannya yang sedang menganggur untuk beliau pelajari sendiri. Ketekunan KH. Amir Idris dalam belajar di Makkah ditandai dengan terus meningkatnya prestasi beliau. KH. Amir Idris muda dengan cepat menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan yangdipelajarinya hingga ia bahkan dianggap mempunyai level yang sama dengan para ulama yang lebih senior di Makkah atau satu langkah lebih maju diantara teman-teman sejawatnya. 

 3. Penulis Kitab Mauhibbah Dzil Fadhol Karya Syaikh Mahfudz At-Turmusi
 Diceritakan pada suatu hari, bahwa beliau pernah diuji kemampuannya dalam sebuah majlis yang dihadiri oleh ulama-ulama besar Makkah pada waktu itu, termasuk Syaikh Mahfudz at-Turmusi. Beliau ditantang untuk menerangkan isi dari kitab Fathul Wahab yang imbalannya adalah diangkat menjadi asisten syaikh mahfudz yang mempunyai tugas sebagai pengganti syaikh menjadi guru, khotib maupun imam ketika sang syaikh sedang berhalangan. Dengan kemampuannya yang memang diatas rata-rata, beliau akhirnya mampu menjawab tantangan tersebut dengan sempurna. Barangkali inilah salah satu alasan mengapa Syaikh Mahfudz memilih KH. Amir Idris sebagai penulis salah satu karya besarnya, yakni Mauhibbah Dzil Fadhol. Selain sebagai seorang yang dikaruniai pikiran yang cerdas dan keilmuan yang mendalam, beliau juga mempunyai bakat dalam bidang tulis-menulis. 3. Menikah dengan Nyai Sukainah Gedongan Setelah menetap lama di Makkah, beliau kemudian diminta oleh kedua orang tuanya untuk pulang ke Indonesia, karena rencananya beliau akan dinikahkan dengan Nyai Sukainah Gedongan. KH. Amir Idris pun menyetujui permintaan kedua orang tuanya tersebut, akan tetapi beliau mempunyai satu permintaan agar diizinkan untuk kembali lagi ke Makkah setelah pernikahan tersebut. Permintaan KH. Amir Idris untuk kembali lagi ke Makkah akhirnya terwujud setelah beberapa lama menetap di rumah mertuanya dan membantu sang mertua mengurusi Pondok Pesantren yang dipimpinnya disana. Beliau berangkat ke Makkah dengan meninggalkan Nyai Sukainah bersama keluarganya di Gedongan. Hal ini beliau lakukan atas dasar permintaan dari sang mertuanya sendiri agar putrinya tidak ikut serta dibawa ke Makkah. Keberangkatannya ke Makkah yang kedua ini diperkirakan satu angkatan dengan beberapa ulama nusantara yang menetap disana, seperti Syekh Hasan Ma’shum Labuhan (w. 1355 H), Syekh Muhammad Jamil (w. 1360 H), Mbah Hasyim (w. 1367 H), Syekh Musthofa Husain (w. 1370 H), Syaikh Sulaiman Ar-Rosuli, Syaikh Abdul Hamid bin Ahmad (w. 1348 H), Syaikh Muhammad Ma’shum bin Ali (w. 1351 H), Syaikh Dimyati bin Abdullah (w. 1353 H), Syaikh Muhammad Faqih bin Abdul Jabbar (w. 1353 H), Syaikh Husain (w. 1358 H), Syaikh Ahmad Kholil (w. 1358 H), Syaikh Munawwir Jogja (w. 1358 H), Kyai Mahfudz Shiddiq (w. 1363 H), Kyai Sya’ban bin Hasan (w. 1364 H), Kyai Kholil Masyhuri (w. 1366 H), Kyai Ridwan bin Mujahid (w. 1368 H), Kyai Ihsan bin Muhammad Dahlan (w. 1371 H). 

 4. Guru-Guru KH. Amir Idris
 Kemudian mengenai guru-guru KH. Amir Idris di Makkah, jika dilihat dari jaringan para ulama yang telah disebutkan diatas, maka kemungkinan besar guru-guru dari para ulama tersebut tidak akan mempunyai perbedaan yang signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa diantara guru-guru KH. Amir Idris adalah Imam Zaeni Dahlan (w. 1304 H), Syaikh Ahmad Khotib Minangkabau (w. 1334 H), Sayyid Abu Bakar bin Syatho (w. 1310 H), Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1315 H), Syaikh Mahfudz at-Tarmasi (w. 1338 H), juga tidak ketinggalan ulama-ulama seperti Syaikh Abdussalam Gampar, Syaikh Ahmad Hayat, Syaikh Amin Ridwan, Syaikh Sa’id Babashil, Syaikh Usman Serawak, Syaikh Muhammad ‘Athorid, Syaikh Umar Bajunaed, dan masih banyak lagi yang lainnya. 

 5. Menikah dengan R.A. Zahra binti K.H. Shaleh Darat
 Dalam perjalanan hidup yang selanjutnya, KH. Amir Idris kemudian menikah lagi dengan R.A. Zahra binti K.H. Shaleh Darat di Makkah atas permintaan dari Syaikh Mahfudz, yang tentunya juga sudah disepakati oleh sang ayah, Mbah Idris, Kyai Sa’id Gedongan selaku mertua dan Nyai Sukainah selaku isteri yang masih sah. Dari pernikahan ini KH. Amir Idris kemudian dikaruniai empat orang anak, yakni ‘Aisyah, Abdurrohim, Hasyim dan Asma’ (tiga nama yang disebutkan terakhir meninggal saat masih belia). Ketika Hijaz dikuasai oleh kaum wahabi yang dipimpin oleh Syaikh Sa’ud sekaligus menandakan berakhirnya kekuasaan Syarif Husain, semua orang yang berasal dari luar Hijaz dipaksa untuk meninggalkan tanah Hijaza secepatnya, dalam hal ini termasuk KH. Amir Idris yang dengan terpaksa harus meninggalkan tanah Makkah yang sangat dicintainya itu. KH. Amir Idris pulang dari Makkah diperkirakan pada tahun 1329 H atau 1909 M. Setibanya di Indonesia, KH. Amir Idris memilih untuk menetap di tempat sang isteri yang kedua, R.A. Zahro di Desa Darat Kabupaten Semarang. Beliau memutuskan untuk menetap di Semarang dikarenakan, kedua orang tuanya yang tinggal di Lumpur telah wafat (Mbah idris wafat pada tahun 1333 H atau 1913 M), begitu juga dengan mertuanya yang berada di Gedongan yang juga telah wafat. 

 6. Berdakwah di Simbang Kulon
 Setelah sekian lama tinggal di Semarang bersama R.A. Zahro dan anaknya, KH. Amir Idris kemudian pindah ke Pekalongan atas permintaan dari Mbah Adam, seorang ulama yang terkenal kaya dari Spait, Pekalongan. Mbah Adam dengan kelebihan finansialnya yang menjamin kebutuhan hidup dan dakwah KH. Amir Idris di Pekalongan, bahkan Mbah Adam juga menyediakan tempat tinggal dan sebuah pondok pesantren untuk KH. Amir Idris di desa Simbangkulon sebagai basis dalam penyebar luasan dakwah beliau. Keadaan sosio-kultural desa Simbangkulon pada akhir abad 18 dan awal abad 19 adalah merupakan sekumpulan masyarakat petani, pengrajin dan pedagang batik yang umumnya masih nihil dalam urusan pengetahuan agama. Perjudian, mabuk-mabukan, sabung ayam adalah sedikit contoh kebiasaan negatif yang melekat pada masyarakat simbangkulon saat itu. Dari sinilah, KH. Amir Idris dan putra tirinya, Raden Rahmat memulai dakwahnya untuk mengokohkan agama islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin pada masyarakat simbangkulon. Dengan dibantu oleh istri dan anaknya, juga oleh pembantunya yakni Nyai Soka (murid Mbah Sholeh Darat yang dulunya dikenal sebagai pelacur). KH. Amir Idris membuka pengajian berbagai disiplin ilmu di pondok pesantrennya yang diadakan setiap hari untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Hal ini tentu saja mempunyai dampak besar terhadap perkembangan keilmuan di desa Simbangkulon ini. Masyarakat yang dulunya buta agama, kini mulai tercerahkan dan mempunyai pengetahuan yang luas mengenai agama, sehingga moral masyarakat yang dulu nampak memprihatinkan pun telah mengalami perbaikan yang cukup signifikan sejak kehadiran KH. Amir Idris sekeluarga. Di antara muridnya adalah Nyai Hindun (Ibu dari K.H. Tahrir, K.H. Abdullah dan K.H. Abdul Jalil). Selain itu, semenjak kedatangan KH. Amir Idris sekeluarga, musholla-musholla banyak didirikan hampir di seluruh lorong dan gang desa, pengajian ramai dimana-mana, pembacaan al-Qur’an, dzikir, dala’ilul khoirot banyak terdengar sepanjang pagi dan sore. Bahkan kini,desa Simbangkulon peninggalan KH. Amir Idris telah dikenal sebagai basis santri karena banyak sekali pesantren dan madrasah besar yang berdiri megah. 

7. Murid-Murid KH. Amir Idris
 Kegigihan KH. Amir Idris dalam menyebarluaskan ilmunya ini dapat dilihat dari cerita yang menyatakan bahwa KH. Amir Idris mulai mengajar para santrinya di musholla sejak sebelum shubuh samapai selesai sholat isya’. Artinya beliau menghabiskan hampir seluruh waktunya berada di musholla untuk mengajarkan ilmu pada murid-muridnya. Dalam rentang waktu itu dikatakan bahwa beliau tidak makan sama sekali dan hanya minum secangkir air. Maka tidaklah mengherankan, kegigihan KH. Amir Idris dalam mendidik santrinya ini berimplikasi pada terbentuknya karakter keilmuan ulama besar yang melekat pada diri santri-santrinya. Diantara murid-murid beliau adalah K.H. Muhammadun bin Ali Murtadho, pendiri dan pengajar pondok pesantren Darul Ulum Pondoan Tayu Pati yang merupakan ayah dari K.H. Aniq Muhammadun sekaligus kakek dari Ulil Abshar Abdallah, selain itu adalah K.H. Maemun Luwungragi Brebes, K.H. Thoyib Kertasemaya Inderamayu, Kyai Makhrus pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Kyai Ali Ma’shum pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Kyai Syathori, Arjawinangun, Cirebon, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid dan lain sebagainya. 

 8. Menikah dengan Nyai Sa’diyah Semarang dan Nyai Sa’adah Benda
 Pada tahun 1920 M atau 1339 H, R.A. Zahro meninggal dunia setelah sekian lama hidup mendampingi KH. Amir Idris. Tak lama setelah itu, KH. Amir Idris memutuskan untuk menikah lagi dengan Nyai Sa’diyah bin Kyai Sulaiman, Bulu, Semarang (w. 1353 H atau 1934 M). Dari pernikahan dengan Nyai Sa’diyah ini, KH. Amir Idris dikaruniai 5 anak, yakni Nuriyah, Isma’il, Idris, Sholeh dan Rahmah. Setelah itu, beliau kemudian menikah lagi dengan Nyai Sa’adah, putri Kyai Amin, Benda, Cirebon. Dari pernikahan ini, lahir dua putri yang bernama ‘Afiyah yang lahir pada tahun 1936 M atau 1355 H dan Khodijah yang lahir pada 1938 M atau 1357 H. 

 9. Karomah KH. Amir Idris 
Di antara karomah-karomah KH. Amir Idris adalah menulis ulang persis seperti aslinya naskah Mauhibbah Dzil Fadhol yang dianggap hilang. Setelah selesai menulisnya ulang, beliau menyerahkan tulisan tersebut kepada Syaikh Mahfudz. Setelah Syaikh Mahfudz mengoreksinya, maka yang beliau dapati memang persis seperti naskah Mauhibbah Dzil Fadhol yang aslinya. Namun, setelah itu KH. Amir Idris mendapati bahwa naskah yang asli ternyata sengaja disembunyikan oleh Kyai Wahab Hasbullah Jombang yang bergurau sekaligus ingin menguji kecerdasan dan keilmuan KH. Amir Idris, selain itu juga disebutkan bahwa KH. Amir Idris pernah bersamaan mengajar ngaji di pondok pesantren beserta sebagian santrinya sekaligus berta’ziyah dan mengimami sholat jenazah Mbah Masduki, Palimanan, Cirebon bersama sebagian santri yang lainnya, sehingga setelah semua santri itu berkumpul dipondok maka mereka saling berdebat mengenai hal tersebut dikarenakan sebagian santri meyakini bahwa KH. Amir Idris tidak pergi kemana-mana dan mengajar seperti biasanya di pondok, sedangkan sebagian yang lainnya meyakini bahwa KH. Amir Idris pergi bersama mereka ke Palimanan untuk berta’ziyah dan menyolati jenazah. KH. Amir Idris wafat pada hari selasa ba’da dhuhur tanggal 8 Robi’ul Akhir tahun 1357 H atau 1938 M. Bersamaan dengan pulangnya KH. Amir Idris kepada-Nya, seluruh jam dinding yang ada di rumah beliau, musholla dan pondok pesantren berhenti berdetak, begitu juga dengan matahari yang spontan redup tak bersinar, semuanya seperti mengiringi kepergian beliau. Selain itu, disebutkan pula bahwa ketika jenazah beliau hendak dimandikan, terdapat satu cincin yang tidak dapat dilepas oleh orang-orang yang berada di sekitarnya kecuali oleh adik KH. Amir Idris sendiri yang sangat beliau cintai, yakni Nyai Sabatani. Data ini disarikan dari buku Manaqib Mbah Idris dan KH. Amir Idris, karya K.H. Abdul Halim ZW (Brebes: PP. Yanbu’ul Ulum. 2012)
Share This :

0 Comments