ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

KYAI PARA KYAI (Biograi Singkat KH. Kholil Bangkalan)

Selasa, 10 Desember 2019
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Kholil bin Abdul Lathif. Tapi nama lengkap dan gelar beliau adalah Kiai al-Alim al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi’i atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil. Beliau lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1252 H atau tanggal 20 September 1834 M, di Desa Lagundih Kecamatan Ujung Piring, Bangkalan.
Beliau berasal dari keluarga ulama. Ayahnya bernama K.H. Abdul Lathif yang mempunyai garis keturunan dengan Sunan Gunung Jati. Kakeknya bernama Kiai Hamim, yang merupakan putra dari Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Dengan kata lain, garis yang menghubungkan Kiai Kholil dengan Sunan Gunung Jati adalah melalui Sayyid Sulaiman yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari pihak ibu.
Berikut ini silsilah resmi dari penuturan K.H. R. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, sebagai berikut: Sunan Gunung Jati- Sayyid Sulaeman Mojoagung (cucu Gunung Jati) - Kiai Abdullah - Kiai Asror Karomah - Kiai Muharrom - Kiai Abdul Karim - Kiai Hamim - Kiai Abdul Lathif- Kiai Muhammad Kholil Bangkalan.
Berdasarkan silsilah tersebut di atas, tingkat interpretasi kesalahan maupun kebenaran masih perlu diteliti lagi karena hal ini berasal dari sejarah lisan dan belum ditemukannya catatan secara utuh. Meskipun demikian, silsilah yang berbeda ditemukan dalam versi K.H. Ali bin Badri Azmatkhan yang menyebutkan bahwa silsilah Kiai Kholil merupakan pertemuan dari beberapa sunan yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati yang silsilahnya itu dikaitkan dengan marga Azmatkhan.
Masa kecil hingga remajanya, Kiai Kholil memiliki keistimewaan yang bisa dibilang berbeda dengan kebanyakan remaja lainnya. Beliau memiliki minat yang tinggi terhadap ilmu fiqh dan nahwu. Hal ini tercermin dari kemampuannya untuk menghafalkan 1002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik. Beliau juga telah mampu membaca Al-Qur’an dengan metode Qira’at Sab’ah.
Sebelum merantau untuk belajar di luar Pulau Madura, Kiai Kholil lebih dulu berguru ke Tuan Guru Dawuh yang lebih dikenal dengan nama Bujuk Dawuh, di Desa Malajeh, Bangkalan. Selain itu, beliau juga belajar kepada Tuan Guru Agung yang dikenal dengan sebutan Bujuk Agung.
Setelah itu, Kiai Kholil mendatangi satu pesantren ke pesantren lainnya untuk belajar ilmu agama. Di antaranya adalah Pesantren Bungah di Gresik asuhan Kiai Sholeh, Pesantren Langitan Tuban asuhan K.H. Mohammad Noer, Pesantren Cangaan Bangil asuhan K.H. Asyik, Pesantren Darussalam, Kebon Candi Pasuruan asuhan Kiai Arif, Pesantren SidogiriPasuruan asuhan Kiai Noer Hasan, Pesantren Winongan asuhan Kiai Abu Dzarrin, dan Pesantren Salafiyah Syafi‟iyah-Banyuwangi asuhan Kiai Abdul Bashar. Dengan demikian, Kiai Kholil telah memperkuat jaringan keilmuannya dengan beberapa pesantren di Jawa dan Madura sekaligus sebagai seorang santri.
Setelah itu, beliau menikah pada usia 24 tahun dengan Nyai Asyik yang merupakan putri dari Lodra Putih. Hasil dari pernikahan ini, beliau dikaruniai dua orang anak yang kemudian diberi nama Muhammad Imron dan Rohmah. Beliau pun kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan Nyai Misi dan dikarunia seorang anak perempuan bernama Asma, yang kelak dinikahkan dengan Kiai Yasin. Beliau pun mendapatkan 11 orang cucu yaitu Malihah, Muhammad Kholil, Muhammad Nasir, Badiyah, Nahilah, Karimah, Nailah, Sayatun, Robi‟ah, Hafsah, Qomariyah dan Tajwati. Sedangkan cucu dari Nyai Rohmah ada dua orang yaitu Umar dan Minnah. Selain itu, beliau juga mendapatkan tujuh orang cucu dari putranya Muhammad Imron yaitu Romlah, Nadhifah, Amin, Makmun, Nikmah, Urfiah, dan Jamaliyah.
Sementara itu, proses perjalanan pendidikan Kiai Kholil dilanjutkan tak lama setelah beliau menikah. Saat itu, beliau memutuskan untuk belajar ke Mekah. Ongkos perjalanannya, beliau tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi. Selama proses perjalanan pun, beliau lebih banyak berpuasa untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT agar diberikan keselamatan sampai tujuan.
Selama di Mekah, beliau juga tak putus semangatnya untuk terus belajar ilmu agama. Saat itu, beliau belajar kepada Syekh Nawawi al-Bantani di Mekah. Berikut ini beberapa nama guru beliau selain yang telah penulis sebutkan di atas, yaitu Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di Mekah, Syekh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki di Mekah, Syekh Abdul Hamid bin Mahmud asySyarwani di Mekah, Syaikh Umar Khatib Bima, Syakh Ahmad Khatib Sambas, dan Syaikh Ali Rahbini.
Selain dikenal sebagai seorang pelajar yang tekun. Kiai Cholil juga dikenal sebagai seseorang yang sederhana. Hal ini dibuktikannya dengan cara memakan kulit semangka ketimbang makanan yang biasa dimakan oleh orang pada umumnya. Beliau juga meminum air zam-zam. Kebiasaan makan makanan seperti itu terjadi selama empat tahun dan berhasil mengundang rasa penasaran dari Syaikh Imam Nawawi yang merupakan guru sekaligus sahabatnya. Bukan hanya Imam Nawawi saja yang merasa heran, tapi Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, dan Syaikh Ahmad Yasin dari Padang pun merasakan hal yang sama.
Kebiasaan istimewa lainnya dari Syaikh Cholil adalah saat beliau menggunakan bajunya sebagai kertas untuk menulis semua pelajaran yang beliau dapatkan dari guru-gurunya. Maka tak heran jika semua baju yang beliau punya hanya berwarna putih. Saat beliau sudah berhasil menghafalkan semua catatan itu di luar kepala. Maka beliau baru bisa mencuci bajunya dan memakainya kembali.
Selain mempelajari tentang ilmu eksoteris seperti tafsir, hadits, fiqh dan ilmu nahwu. Beliau juga mempelajari ilmu esoteris ke berbagai guru spiritualnya yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambas ibnu Abdul Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Melalui Syaikh Ahmad inilah ajaran Thariqoh Qadariyah wa Naqsyabandiyah sampai kepada beliau; meskipun biasanya kedua jenis tarekat ini justru dipelajari secara terpisah.
Beliau sering menulis karya-karya berupa risalah yang kemudian dijual seharga 200 real per kitab. Selain menjual karya-karya tulisnya, beliau pun sering membuat kaligrafi lalu menjualnya. Dengan cara inilah, beliau mampu bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya.
Beberapa karya tulis beliau antara lain:
1. Kitab Silah fi Bayanin Nikah
Kitab ini menguraikan tata cara, adab dan hukum pernikahan. Dalam karya ini, pemikiran Kiai Kholil dipengaruhi oleh Imam Syafi‟i.
2. Kitab Terjemah Alfiyah
Kitab ini masih berupa manuskrip dengan tulisan tangan asli beliau yang diperkirakan selesai ditulis pada tahun 1924 lengkap dengan stempel berupa cincin bertuliskan Kholil.
3. Shalawat Kiai Cholil Bangkalan
Shalawat ini disusun oleh K.H. Muhammad Kholid dalam Kitab I’anatur Roqibin dan dicetak di Pondok Pesantren Rodlatul Ulum, Sumber Waringin Jember.
4. Kumpulan wirid Kiai Cholil Bangkalan
Kitab ini disusun oleh K.H. Musthofa Bisri Rembang dengan nama Kitab Haqiban.
5. Kitab Al-Matnas-Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif
Kitab ini berisi tentang ilmu fiqh yang merupakan salah satu kajian fundamental dalam Islam. Hanya saja, kitab yang berisi 52 halaman ini pernah menjadi kitab referensi yang paling dikenal. Hal ini dikarenakan beliau menuturkan kajian fiqh dengan lebih lugas dan mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun.
Kitab ini menggunakan bahasa Arab dengan terjemahan bahasa Madura di bagian bawahnya. Sampul depan kitab ini berwarna kuning, dan terdiri dari 21 pasal antara lan mengenai air, istinja, wudhu, mandi, tayamum, najis, waktu haid dan nifas, shalat, waktu shalat, fardu shalat, sunah shalat, makruh shalat, hal yang membatalkan shalat, shalat qashar dan jamak, shalat Jum‟at, hal yang haram dilakukan pada shalat Jum’at. Selain itu, kitab ini juga berisi tentang tata cara memandikan, mengkafani dan menshalati mayit, zakat, puasa, i’tiqaf dan haji. Secara singkat, kitab ini berisikan dua bagian ibadah penting yaitu ibadah secara langsung kepada Allah maupun kepada sesama manusia.
Tidak menutup kemungkinan jika karya tulis beliau jauh lebih banyak dari apa yang telah penulis jabarkan. Hal ini terjadi karena adanya kemungkinan bahwa manuskrip beliau sudah tersebar luas. Sehingga penulis sendiri merasa kesulitan untuk menghimpunkannya menjadi sebuah penjabaran yang utuh. Apalagi jika diingat bahwa beliau sudah sering menjual hasil karyanya sejak masih belajar di Mekah.
Kiai Kholil meninggal di Marjasah, Bangkalan tepat pada tanggal 29 Ramadan 1343 Hijriyah atau sekitar tahun 1925 Masehi. Artinya, beliau meninggal pada usia sekitar 105 atau 106 tahun. Petilasan beliau yang terletak di Komplek Pasarean Syekh Muhammad Kholil, Bangkalan, Madura masih terawat hingga saat ini.
Salah satu hal menarik tentang beliau adalah tentang keberadaan lukisan beliau yang tersimpan di Museum Den Haag, Belanda. Hal ini menandakan bahwa ada rahasia yang menarik di balik siapa beliau dan apa saja kiprahnya dalam Islamisasi di Nusantara khususnya. Selain itu, beliau juga memiliki peranan penting dalam mengembangkan mazhab Syafi‟i yang salah satunya beliau dapatkan dari gurunya yaitu Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Syekh Nawawi al-Bantani.
Penulis : Aah Syafaah (IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
E-mail: aah.syafaah2002@gmail.com
Tulisan ini telah diterbitkan dalam “Jurnal Tamaddun, Volume 5 Nomor 1, Januari – Juni 2017”
Share This :

0 Comments