ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

KYAI IDHAM, ULAMA TIGA ZAMAN, (BIOGRAFI SINGKAT KH. Dr. IDHAM CHALID)

Jumat, 13 Desember 2019


KH. Dr.Idham Chalid adalah salah seorang ulama dan politikus muslim terbaik yang dimiliki Indonesia. Ia dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir,
Ia dinobatkan Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 8 November 2011.
KH. Dr. Idham Chalid dikenal sebagai ‚tokoh tiga zaman‛, yaitu Kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru. Ia pernah menjabat sebagai Dewan Daerah Banjar 1947), sebagai anggota Parlemen RIS 1949-1950, Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) dan Kabinet Djuanda (1957-1959), Menteri Ex Officio dalam Kabinet Karya (1959-1962), Menko Kesra dalam Kabinet Dwikora (1963-1965), Menteri Kesra dalam Kabinet Ampera (1967-1970), Wakil Ketua II MPRS (1966-1970), Menteri Sosial Ad Intren (1970-1971), Menteri Negara Koordinator Kesra dalam Kabinet Pembangunan I (1971-1977), Ketua DPR/MPR RI (1971-1977), Ketua DPA RI (1978-1983), dan anggota Dewan Pertimbangan MUI.
Idham Chalid lahir dari pasangan H. Muhammad Chalid dan Hj. Umi Hani di Setui, Kalimantan Selatan, 5 Muharram 1341 H / 27 Agustus 1922. Ia menuntut ilmu di Al-Madrasatur Rasyidiyah Amuntai, lulus tahun 1938, dan tamat dari Pondok Modern Gontor Ponorogo, tahun 1940. Usia 18 tahun, Idham Chalid mengajar di Gontor, dan menjadi Wakil Direktur Kulliyatul Muallimin al-Islamiyyah (KMI). Ia lalu mengikuti kursus‚ Djakarta Nippongo Gakko di Jakarta, hingga mampu menguasai Bahasa Jepang
dengan baik, bahkan sering jadi penerjemah beberapa pertemuan alim ulama dan
Jepang.
Pertengahan 1944, Idham Chalid kembali ke kampung halamannya di Amuntai. Ia mengabdi di bidang pendidikan dan pengajaran. Ia ditunjuk para ulama di Amuntai
untuk memimpin Al-Madrasatur Rasyidiyah. Ia juga mengorganisasi madrasah madrasah yang berada di luar pesantren, yaitu organisasi Ittihad al-Ma’ahid lIslamiyah. Ia terlibat aktif dalam gerakan kemerdekaan melawan penjajah. Ia tercatat sebagai Sekretaris Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah (Hulu Sungai Utara) di Amuntai, dan menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai. Dari partai itulah, Ia terbawa ke pentas politik nasional hingga menjabat beberapa jabatan bergengsi di negeri ini, di samping di Nahdlatul Ulama. Tokoh nasional ini tutup usia, Ahad 11 Juli 2010, 08.00 WIB, dalam usia 88 tahun, di rumahnya Jl. RS. Fatmawati No. 45 Jakarta Selatan. Ia dikebumikan di kompleks Pondok Pesantren Darul Qur’an Cisarua Bogor.
Kiprah dan perjuangannya pada Nahdlatul Ulama seperti dituturkan oleh H. Mahbub Djunaidi menyebut KH. Dr. Idham Chalid sebagai tokoh yang perawakannya ramping, tak ubahnya dengan perawakan umum pedagang batu permata dari Banjar. Beliau adalah orang yang memegang rekor paling lama menduduki kursi kekuasaan politik di negeri ini, dan paling lama pula memimpin NU. Beliau memiliki kelincahan logika.
Idham Chalid mengenal NU sudah lama, yaitu sejak tinggal di Setui, belum berusia 10 tahun. Ayahnya ikut mengurus Sarikat Islam dan NU ketika di Setui. Lalu pindah ke Pegatan karena ada yang tidak suka dengan NU, hingga pernah disidangkan. Selanjutnya, Idham Chalid mengenal tokoh besar NU ketika ia belajar di Nagara Hulu Sungai Selatan. Ia mengenal Sayyid Abu Bakar al-‘Aydrus. Kemudian mulai kenal tokoh-tokoh NU di Pulau Jawa saat belajar di Gontor. Beberapa tahun selanjutnya ia aktif di Ansor NU setelah bebas dari tahanan Belanda. Saat Idham Chalid duduk sebagai anggota DPR pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949-1950, ia menjadi ‘sekretaris pribadi’ KH. A. Wahid Hasyim, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama dalam kabinet Hatta. Ia kenal Wahid Hasyim sejak 1943, saat menjadi penerjemah dialog antar ulama dan pembesar Jepang di Jakarta. Suatu ketika KH. Wahid Hasyim diundang suatu acara di Tebuireng Jombang Jawa Timur, namun beliau berhalangan hadir. KH. Wahid Hasyim lantas menugaskan Idham Chalid muda untuk mengganti posisinya. Para kyai sepuh, tokoh masyarakat dan semua yang hadir saat itu geger melihat pidatonya yang bagus, tutur katanya yang tersusun, dan disampaikan dengan penuh sopan santun. Momen itulah yang memperkenalkan Idham Chalid di depan banyak ulama sepuh di Jawa Timur.
Dengan dasar pengalaman di pemerintahan (DPR-RIS) dan hubungan pribadinya
dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, ia lalu diangkat sebagai Ketua PB Ma’arif (organisasi
sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan) yang selama ini dipegang oleh KH. A.
Wahid Hasyim itu sendiri. Beberapa tahun kemudian, ia memperoleh kepercayaan
menjadi pimpinan Gerakan Pemuda Ansor. Selain aktif di GP Ansor dan PB Ma’arif NU, Idham Chalid dalam usia yang tergolong muda waktu itu, didaulat menjadi Sekjen PBNU. Waktu itu ia berusia 30 tahun, yaitu pada Muktamar ke-19 tanggal 28 April – 1 Mei 1952 di Palembang, untuk periode 1952-1956. Sebelumnya Ia menjabat Wakil Rais Syuriah NU Kalimantan Selatan, sekaligus sebagai Ketua Wilayah Ansor Kalimantan Selatan.
Sumber :
Hidayatullah, Nur. Jurnal Idrak Vol.1, No.1, Desember, 2018 ( Idham Chalid di Nahdlatul Ulama. UIN Walisongo. Semarang: 2018
Share This :

0 Comments